Bab 40

1.3K 88 1
                                    

Air menata dokumen-dokumen yang bercecer di mejanya sebelum ia mengakhiri jam kerja. Beberapa barang pribadinya sudah masuk ke totebag. Ponsel miliknya bergetar ketika dia mematikan komputer. Nomor asing tampil di layarnya. Dia tidak langsung menjawab panggilan itu. Untuk sesaat, dia membiarkan benda pipih itu bergetar tanpa ada ada niatan mengangkat. Beberapa detik diam, ponsel itu kembali bergetar. Nomor yang sama, yang seperti memaksanya untuk menjawab panggilan−yang entah dari siapa−itu.

"Ha-lo?" sapa Air, ragu.

"Selamat sore, Airwening. Maaf sudah mengganggu kamu. Saya Fendi, omnya Akar," kata seseorang dari seberang sana.

Darahnya berdesir, degupan jantungnya tiba-tiba jadi lebih cepat dari biasanya. Air terkejut dengan apa yang telinganya dengar.

"S-sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Air memelankan suara lalu kembali duduk di kursi kerja. Niatnya keluar dari ruangan dengan segera pun akhirnya urung terlaksana.

"Kebetulan hari ini saya ada di Semarang. Kalau tidak keberatan, apa kita bisa bertemu? Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu."

Sejenak, Air terdiam. Pikirannya melayang ke berbagai teori yang ia kembangkan sendiri. Apakah soal Akar dan Nami, atau soal MJN, atau soal hubungan mereka? Air masih membisu, sampai-sampai pria yang menghubunginya itu terdengar memanggil namanya beberapa kali.

"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, pertemuan yang dimaksud hendak membicarakan hal apa?" tanya Air hati-hati.

Tawa kecil terdengar yang kemudian disusul dengan helaan napas. "Yang pasti bukan menyangkut soal pekerjaan kamu, kok. Saya cuma ingin berkenalan dengan perempuan yang bikin keponakan dan cucu saya happy banget tinggal di Semarang. Jadi, bisa saya temui kamu malam ini? Kalau kamu setuju, biar Pak Sulis yang jemput kamu nanti jam tujuh malam."

Sejenak Air termangu. Andaipun dia menolak, tidak ada alasan baik yang bisa dia ucapkan untuk tidak menerima tawaran pertemuan ini. "Baik, Pak."

"Oke. Terima kasih, dan sampai jumpa nanti malam," tutup pria di seberang sana.

Air menghembuskan napas kasar, usai mengetuk ikon telepon di layar ponselnya. Perempuan itu terdiam sesaat. Menelaah apa yang baru saja terjadi. Telepon dari omnya Akar, meminta bertemu membicarakan sesuatu? Air menggigit bibirnya, lalu begitu kesadarannya kembali, dia kembali memandang ponselnya. Sejenak meyakinkan diri saat memandang nama Akar di deretan teratas kontak, tapi tiba-tiba Air mengurungkan niat yang tadi terbersit di otaknya.

***

"Mau kemana, Nduk?" tanya Ibu, melihat Air yang keluar dengan tunik selutut warna cokelat gelap, lengkap dengan tas selempang kulit berukuran kecil.

"Mau ketemu orang, Bu. Enggak lama, kok. Air berangkat dulu, ya."

"Hati-hati di jalan. Enggak diantar Mas Banyu saja, to, Nduk?"

"Enggak usah, Bu. Mas Banyu kayaknya lagi capek banget. Tadi saja, minta air panas buat mandi. Air berangkat, Pak, Bu." Air tersenyum kepada kedua orang tuanya.

Usai berpamitan dengan ibunya, ia berjalan menuju pintu depan. Begitu Air menutup pintu, Toyota Innova warna hitam berhenti tepat di depan pagar. Pak Sulis membuka pintu mobil, lalu tersenyum kepada Air.

"Malam, Mbak Air," sapa Pak Sulis, ramah.

"Malam, Pak. Loh, Pak Sulis balik ke Semarang lagi?" Air masuk ke bangku penumpang belakang.

"Iya, Mbak. Pak Fendi minta ditemani, soalnya biar gampang ke mana-mana. Saya sudah lumayan hafal Semarang, Mbak. Gara-gara Mas Akar sering ngajak jalan-jalan dulu," terang, Pak Sulis.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang