Bab 31

1.5K 94 2
                                    

Tatapan Akar seolah tak membiarkan perempuan di depannya pergi. Dia mengutarakan apa yang sejak kemarin-kemarin Air sangsikan. Seperti dulu lagi?

"Aku sudah belajar banyak hal dari perpisahan kemarin, jadi sekarang aku nekat minta kesempatan kedua sama kamu. Aku enggak bisa menjanjikan kalau kita akan bebas masalah, tapi ketika itu benar-benar datang, aku akan berusaha lebih keras dari sebelum-sebelumnya." Akar mengelus pipi Air.

Pada akhirnya, Air pun tak mampu menolak perasaan yang bancuh. Antara cinta dan benci atau acuh dan takut, yang begitu tipis menyempil di benaknya sejak kali pertama mereka berjumpa usai sekian lama tak bersua muka. Kehadiran Akar kedua kali ini seperti meneteskan cairan yang teramat perih di luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya. Sangat amat pedih. Namun, ia tak menyangka kalau cairan itu nyatanya adalah satu-satunya obat yang mampu menutup rapat luka yang ia rasa bertahun lamanya.

Jemari Air mengelus lembut tangan pria yang masih menangkup wajahnya. Ia melepaskan kedua tangan Akar. "Karena Nami dekat sama aku?"

Akar tersenyum. "Karena aku maunya sama kamu. Dan beruntungnya, anakku juga begitu."

Pria itu mengecup lembut dahi Air. "Please, pulang ke aku."

"Aku enggak pernah pergi ke mana-mana," protes Air.

"Oke, aku ralat." Akar menghela napas. Tangannya balik kembali menggenggam tangan Air. "Airweningku, setelah ribuan hari aku menahan diri, sekarang boleh aku pulang ke kamu?"

Air tersenyum mendengar rayuan dari Akar. "Pulangnya bawa oleh-oleh, kan?"

Akar mengangguk. "Bawa, sih. Namanya Nami. Mau, kan?"

Perempuan itu tergelak lalu mengangguk malu-malu. "Asal anaknya mau."

Seketika, Akar kembali merengkuh erat tubuh Air. Embusan napas hangat sampai terasa di ceruk leher perempuan itu. "Nami enggak mungkin nolak kamu."

Akar melonggarkan pelukannya, kemudian mencium kening Air cukup lama. Membuat perempuan itu terpejam, merasakan kehangatan yang menjalar hingga ke sanubari.

"Aku itu segitunya sama kamu," ucap Akar.

Pria itu mencium hidung Air, kemudian dengan lembut mengecup bibir. Tangan kiri Akar memegang rahang Air, dan tangan satunya merengkuh pinggang perempuan di depannya. Sentuhan itu semakin intens, dalam, dan tidak berjeda, bagaikan candu untuk keduanya.

Sesaat, Akar melepaskan sentuhan bibirnya, tapi pandangannya masih belum beranjak dari Air. Tangannya mengelus lembut pipi Air dengan punggung jari, tatapannya memuja Air bak perempuan di depannya serupa Dewi. Dia kembali mencium bibir Air, dengan Akar yang satunya masih berjaga di punggung perempuan itu, mencengkeramnya kuat, kemudian ia mendorong perlahan tubuh Air hingga berjalan mundur, memasuki kamarnya yang berjarak tak lebih dari beberapa langkah saja. Tautan bibir mereka sama sekali tak lepas, sampai Akar melonggarkan pelukannya, lalu menutup pintu kamar pelan, hampir tanpa suara.

Akar berjalan dengan sorot mata seperti seorang pemburu yang berhasil mendapatkan hasil tangkapan. Langkahnya terhenti tepat di tepi ranjang, di mana Air berdiri, menyorotkan kebutuhan yang sama. Ibu jari Akar mengusap bibir Air yang masih sedikit basah. Seutas senyuman tipis kembali tercetak di wajahnya. Seperti tak mau menyia-nyiakan waktu, Akar kembali melumat bibir Air. Sentuhan mereka semakin dalam. Semakin basah, diiringi deru napas yang semakin cepat.

Kini, rasa benci dalam hati Air luruh seketika. Perasaan cinta lebih besar porsinya, ketimbang kecewa yang dia rasa. Pada akhirnya, perempuan itu membiarkan setiap anggota tubuhnya menjalankan keinginan hati. Dia sadar, bahwa Akar berdaya membuatnya kembali jatuh ke pelukan yang sama.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang