Bab 6

2.2K 171 6
                                    

Hai, aku rilis satu bab lagi, ya.

Sudah mulai musim hujan, semoga teman-teman diberi kesehatan, jangan lupa minum vitamin.

***

Bapak sangat suka memancing, tetapi Banyu tidak memiliki hobi yang sama. Banyu lebih suka berolahraga seperti berlari atau berenang. Sebelum menjalin hubungan dengan Akar, tidak ada lelaki yang serta merta mendapatkan lampu hijau dari Bapak. Dari tiga mantannya, Akar adalah satu-satunya pria yang bisa dengan leluasa masuk ke hati Bapak. Tentu saja karena dia mau menemani Bapak pergi memancing, mengobrol banyak hal, bahkan tak sungkan ikut kerja bakti di kampung. Akar bilang, ia bukan sekedar tebar pesona kepada ayah dari kekasihnya. Pria itu memang menyukai memancing, katanya biar dia sabar dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Kalau soal Ibu, sejak dahulu memang Ibu adalah seseorang yang mudah menerima orang lain. Bukan hanya Akar saja, Ibu juga cenderung dekat dengan semua teman-teman Air. Banyu pun begitu. Tidak perlu waktu lama, semua orang akan mengira Akar dan Banyu adalah teman sejak lama, atau sejak masa belia. Tidak mengherankan, kalau pada akhirnya menghilangnya pria itu dari kehidupan Air jadi sebuah peristiwa besar selayaknya kehilangan anggota keluarga.

Air meletakkan sendok dan garpunya di atas nasi dengan ayam pop. Nafsu makannya sirna, entah ke mana. Tentu lantaran pertemuan mengejutkan dengan Akar di kantor tadi. Dia teringat betapa dia dan keluarganya bertanya-tanya ke mana Akar menghilang. Mencoba menghubungi beberapa teman Akar yang ia kenal, bahkan mendatangi tempat Akar bekerja setiap hari.

Perihnya ditinggal pergi begitu saja bukan hanya dirasakan olehnya, tetapi juga keluarganya yang terlanjur menyayangi Akar. Berhari-hari lepas Akar tidak ada kabar, Bapak dan Ibu ikut mencoba menghubungi Akar. Bahkan Banyu pun ikut mencari ke sana ke mari, bahkan sampai mencoba mengecek ke rumah sakit dan kantor polisi. Semua orang merasa cemas dan takut Akar dalam bahaya. Namun, ketika Faisal yang ditemui Air mengatakan tidak perlu mencari Akar, semuanya upaya terasa sia-sia. Akar tidak menghilang seperti yang mereka takutkan. Pria itu menghilang dengan kesadaran. Pria yang pernah mengatakan mencintainya sepenuh jiwa, meninggalkannya tanpa aba-aba. Pergi tanpa permisi. Meninggalkan luka yang menganga dalam dan sesal tidak terkira.

"Ir, kok enggak habis? Kamu loh yang ngajak makan kesini," ujar Puspa, sembari mengaduk es teh miliknya.

"Tahu-tahu aku kenyang," ucap Air, lirih.

Puspa menyingkirkan alat makan yang menghalangi interaksinya dengan Air, lalu melipat tangannya di atas meja. "Ngaku, kamu enggak cuma sekadar kenal sama Pak Akar, kan?"

Air menunduk. Matanya tertuju ke pinggiran meja, meski pikirannya gelayaran ke ke masa-masa yang mestinya terkubur hal-hal baru waktu-waktu terbaru.

"Kalau dia cuma sekedar satu almamater, kamu enggak akan bersikap kayak ini. Pandangan kamu ke Pak Akar itu beda. Kamu enggak akan buru-buru nyeret aku ke mobil pas dia manggil nama kamu kalau kalian enggak ada cerita lebih dari sekadar kenal," tambah Puspa.

Air menaikkan pandangan ke Puspa. Perempuan itu menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk. "Iya. Kami kenal lebih dari sekadar teman."

Pertanyaan Puspa layaknya upaya penggalian kembali hal yang susah payah Air kubur dalam-dalam. Pandangannya menerawang ke depan, membayangkan pertemuan dengan sosok masa lalu yang sungguh-sungguh di luar perkiraan. Meski sejujurnya, dia cukup kaget dengan penampilan Akar yang sangat berbeda dari tujuh tahun yang lalu. Akar jauh lebih rapi, meskipun rambutnya masih sedikit gondrong. Tampak jam yang cukup mahal melingkari pergelangan tangannya, kemeja warna cerah dan pantalon warna hitam yang Air yakin harganya tidak murah. Namun, ketakjubannya tidak berlangsung lama, sebab kemudian tertutup benci yang terasa menjalari hati. menampar Air untuk kembali ke kesadarannya. Pria ini, yang dikenal teman-teman kantornya sebagai direktur PT. Goldy Poultry Indonesia, adalah orang yang sama, yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta dan kasih sayang bertahun lalu. Juga pria yang sama, yang pernah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Meski selama ini Air mencoba mengumpulkan setiap puingnya, ia tetap tak menemukan satu bagian yang hilang, bersamaan dengan sosok Akar yang lenyap kala itu. Akar adalah manusia terjahat dalam hidupnya.

"Semalam aku dengar pembicaraan Pak Galih dengan Ardi dan Devan. Mereka bicara soal direkturnya Goldy yang namanya Akar. Jujur, aku sempat kaget, tapi aku pikir di dunia ini pasti banyak sekali orang dengan nama sama, dan tentu aku yakin bukan Akar mantan pacarku dulu. Sampai akhirnya tadi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau sosok yang dimaksud Pak Galih dengan sosok yang pernah ada di hidupku adalah orang yang sama." Air tersenyum getir, ia menatap Puspa yang melongo. "Sungguhan, Akar yang aku kenal berbeda dengan Akar direkturnya Goldy. Akar yang aku kenal bilang dia dari Kabupaten Malang, bukan Surabaya. Akar yang aku kenal dari keluarga biasa saja, bukan pemilik pabrik pakan ternak. Akar yang aku kenal bisa kuliah S2 karena beasiswa, bukan karena keluarganya kaya raya. Tapi sayangnya, Akar yang aku kenal, adalah Akar yang sama yang tadi di kantor kita."

"Ja-jadi?" Puspa berkedip-kedip, barangkali mencerna informasi di luar ekspektasi dari Air.

"Jadi selama ini, aku sudah telak dibohongi. Bertahun-tahun dibohongi, lalu ditinggal pergi." Mata Air memanas. Ia mengalihkan pandangan ke langit-langit, berharap bulir-bulir yang ia tahan tidak benar-benar mengalir ke wajah. "Dan aku jadi semakin benci."

"Terus sekarang gimana? Kondisinya beda, tempat kita kerja bahkan punya kerja sama dengan perusahaannya Pak Akar. Apa kamu yakin bakal baik-baik saja?" Puspa mengelus punggung tangan Air yang mengepal.

Air memaksakan senyuman, lalu membalas sentuhan tangan Puspa. "Memangnya aku bisa apa? Mengajukan petisi untuk batal ganti supplier pakan sama DOC?"

Perempuan itu menghela napas panjang. "Yang aku bisa upayakan, ya, tetap kerja kayak biasa, kayak enggak ada apa-apa. Lagi pula, dia direktur dan aku pegawai administrasi, mau bagaimana pun enggak bakal ketemu, kan."

***

Tubuhnya memang sudah terduduk di belakang meja warna hitam mengilat di kantor PT. Goldy Poultry Indonesia, Surabaya, tapi pikirannya tertinggal di Semarang. Akar memejamkan mata, meminta bayangan perempuan dengan kulot gelap dengan blouse berpita yang ditatapnya beberapa jam yang lalu kembali hadir mengisi ingatan. Jelas sekali bagaimana Air menatapnya. Terkejut, heran dan yang terbesar setelahnya, kebencian.

Akar memijat dahinya, mencoba menemukan mana yang lebih dominan dari emosi-emosi serupa letusan kembang api dalam benaknya sendiri. Gembira, rindu, takut, marah, atau kecewa? Entah yang mana.

Sialnya, tidak ada yang berubah dalam diri perempuan itu. Kesederhanaannya, cara berpakaiannya, rambut panjangnya, bahkan caranya menahan amarah. Sama, seperti tujuh tahun yang lalu. Sama, seperti saat terakhir kali mereka bertemu.

Dan juga—barangkali—pun dengannya, yang masih memiliki perasaan yang sama. Yang berupaya melupakan Air sekuat ia bisa, meski tidak pernah ada selesai buat mereka.

"Bos?" Faisal membuka pintu ruangan Akar tanpa mengetuk. Akar memandang pria bertubuh kurus itu berjalan mendekat dengan tatapan tajam. Faisal, tentu saja tak mengindahkan sorot mata membunuh Akar. Dia lebih memilih segera menggeret kursi dan menanyakan kondisi pimpinan sekaligus sahabatnya itu.

"Ada perlu apa?" tanya Akar begitu Faisal duduk di kursi di depannya.

"Air?" Faisal memajukan posisi duduknya. "Dia kerja di MJN?"

Pertemuan Akar dan Air tadi mustahil terjadi kalau Faisal tidak meminta ijin ke toilet di kantor Makmur Jalu sehingga membuat kepulangan Akar dan tim ke Surabaya sedikit tertunda. Sayangnya, Faisal tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian itu. Ketika dia keluar untuk bergabung dengan tim, Akar sudah duduk di dalam mobil, mengupayakan ketenangan.

"Dia staf admin di sana." Akar kepayahan menelan ludah. Ditatapnya sahabat yang juga adalah manajer pemasarannya itu. "Hanya kebetulan. Aku bukan dengan sengaja bekerja sama dengan Pak Richard karena ada Air di perusahaannya."

"Bukan sekadar kebetulan kurasa. Dia memang mahasiswa Peternakan, kan?" Faisal mengerutkan dahi, lalu menempelkan punggung ke sandaran kursi. "Yang terpenting, soal pribadi tidak berurusan dengan soal kantor."

"Perkara perusahaan, enggak perlu khawatir. Kau kerja seperti biasa, aku pun begitu. Enggak ada hubungannya antara pabrik dengan masalah pribadiku."

Setelah beberapa menit terdiam, Akar menggeser kursinya mendekat ke pesawat telepon di sudut meja. Ia meraih gagang telepon, lalu menekan kode dan nomor ruangan Laura, sekretarisnya.

"Ra, sebelum kamu pulang, saya bisa minta tolong pesankan saya tiket ke Semarang untuk hari Sabtu? Jangan. Kirim tagihannya ke Whatsapp pribadi saya." Usai mendengar jawaban dari seberang sana, Akar kembali meletakkan telepon ke tempatnya. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. "Kali ini bukan soal perusahaan. Barangkali memang takdirnya aku harus membayar utang masa lalu."

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang