Bab 47

1.6K 90 1
                                    

Mobil sedan bernomor kendaraan Surabaya terparkir di depan MJN, begitu Air keluar dari kantor. Familier sekali mobil itu bagi Air. Perempuan itu berhenti di dekat parkiran motor, kemudian mencari ponsel yang asal-asalan ia masukkan ke dalam totebag-nya tadi.

Begitu mendapat benda pipih itu, Air segera menyalakan layarnya. Namun, ia tak mendapat pesan apa pun dari si pemilik mobil itu. Merasa janggal, Air kembali menoleh ke dalam kantor. Mencoba mengingat, adakah tamu yang masuk ke dalam kantornya seharian ini?

Mungkin cuma urusan Goldy. Begitu batin Air, yang kemudian meraih helm dari spion motor.

Namun, baru akan menaiki motornya, tiga orang pria keluar dari dalam kantor membuat Air menoleh lagi. Pandangannya dan Akar selintas berserobok, tapi kemudian pria itu mengalihkan pandangan ke Richard dan Dinar.

"Hari Senin tak kabari kita ke Kendal jam berapa." Ucapan Richard tidak sengaja terdengar oleh Air.

Tanpa buang waktu lagi, Air buru-buru menaiki motornya dan melaju pulang. Ia menantang panas kota Semarang dengan pikiran bergelayut di muka kantornya. Akar tepat ada di sana, tapi entah kenapa ia tidak bisa meraih pria itu seperti lalu-lalu.

Satu minggu setelah apa yang terjadi di Surabaya, setelah apa yang telinganya dengar dari ucapan Akar di rumah sakit, di hadapan keluarga dari pria itu, nyatanya Air justru merasa tidak tenang. Terakhir mereka saling menghubungi hanya beberapa jam setelah Air mendarat di Semarang setelah kepulangannya dari Surabaya.

Di belakang marka lampu lalu lintas Tugu Muda, Air terdiam. Memandang persimpangan jalan. Pikirannya seolah serupa dengan itu. Sebab ada rindu yang besar yang menderu, tapi ada pula rasa takut yang membiru.

Kala lampu menyala, dan Air kembali mengendara, ia menimang mana yang lebih berat di antaranya. Rindukah atau takutkah? Entah. Perempuan itu terus melaju dan melaju, di antara air mata yang ikut runtuh.

Tepat ketika Air membuka pagar, mobil Akar berhenti di belakang motornya. Ia pun urung memasukkan motornya dan malah berdiri menunggu pemilik mobil itu keluar.

"Hai," sapa Akar, begitu keluar dari sana.

"Hai."

Akar menyakukan satu tangannya ke kantung celana. Pria itu tersenyum lalu menoleh ke arah rumah. "Boleh masuk?"

"Silakan." Air membuka pagar, lalu membiarkan Akar masuk lebih dulu, baru ia bersama motornya.

"Eh, Akar." Ibu rupanya lebih dulu membuka pintu, tepat sebelum Air. Perempuan paruh baya itu kemudian mempersilakan Akar masuk, sedangkan Air memilih melenggang ke kamar lebih dulu.

Perempuan itu meletakkan tas kerja, lalu duduk di atas kasur. Pandangannya menerawang ke jendela. Tepat di luar sana, olehnya tampak mobil Akar terparkir. Air menunduk. Entah apa lagi yang akan terjadi setelah ini.

"Ir, Akar katanya mau bicara sama kamu," ucap Ibu, sembari berjalan mendekat. "Dia izin ke Ibu mau keluar sebentar sama kamu."

***

"Kita mau ke mana?" tanya Air ketika mobil Akar melaju menuju arah Tugu Muda.

"Hotel."

"Ho-hotel? Ngapain?" Dahi Air mengerut. "Kita, kan, bisa ngobrol di kafe. Atau di rumah tadi. Kenapa mesti ke hotel?"

Akar terkekeh, tapi tidak menjawab pertanyaan Air bahkan sampai mobil yang dikendarainya memasuki area parkir sebuah hotel yang berseberangan dengan mal di Jalan Pemuda.

Tangan Akar menggapai tangannya, ketika mereka mulai berjalan menuju ke tujuan. Air sungguh tidak mengerti kenapa Akar membawanya ke sini.

Lobi?

Akar melepaskan gandengan tangannya ketika mereka mendekati area lobi, kemudian berbelok ke area restoran. "Sebentar."

Air menatap punggung Akar yang berjalan di depannya. Hingga kemudian ia mendengar suara yang terdengar familier. "Papa!"

Akar berhenti, lalu memiringkan badan. Sontak Air bisa memandang Nami yang berdiri di pinggir meja bersama Pak Sardi dan Mbok Asih. Anak kecil itu berganti memekikkan nama Air sambil berlari menghampiri.

"Tante Baik," ucap Nami, sambil memeluk Air erat-erat.

"Sayang. Tante kangen." Air mencium ujung kepala Nami, lalu kembali memeluknya. "Nami sudah sehat? Sudah enggak sakit, kan?"

"Nonik sudah makan?" tanya Akar, begitu Air mengendurkan pelukannya dari Nami.

Nami mengangguk. "Tadi Nonik makan ayam goreng di mal sama Mbok Asih sama Pak Sulis."

"Good." Akar mengalihkan pandangan ke Air. "Sekarang gantian Tante Baik yang makan dulu."

Tiga orang itu pun berpindah ke meja bersama Pak Sulis dan Mbok Asih. Namun, tak lama setelahnya kedua karyawan Akar itu pamit untuk ke kamar mereka lebih dulu, meninggalkan Akar dan Air yang sedang makan, juga Nami yang asyik bercerita soal kenaikan kelasnya.

"Pindah sekolah lagi?" bisik Air, kepada Akar.

"Kali ini terakhir. Dan seterusnya kami tinggal di sini," ucap Akar.

"Kamu pindah ke kantor sini lagi?" tanya Air setelah membalik sendok dan garpunya.

"Aku keluar dari Goldy. Karena ini pas sama kenaikan kelas Nami, aku pikir sekarang saja memindahkannya sekolah. Sekarang waktunya mikir masa depan, Ir." Akar menatap Nami yang menatap kedua orang dewasa di dekatnya bergantian. Anak itu tampak menyimak apa yang tengah Air dan Akar bicarakan.

"Masa depan Nami?" tanya Air.

"Iya. Sama masa depan kita."

Air menaikkan pandangan kepada Akar. "Kita?"

"Bukannya aku sudah bilang seminggu yang lalu di rumah sakit?" Akar mengelus kepala Nami, sambil tersenyum kepada anak itu. Kemudian ia kembali menatap Air. "Kalau kamu enggak keberatan. Aku pingin minta kamu jadi bagian kami. Aku mau minta kamu ke Bapak dan Ibu. Aku mau nikah sama kamu."

Air menelan ludah, lalu menatap ke Nami yang tersenyum-senyum. Entah apakah anak itu memahami apa yang sedang papanya bicarakan. Yang jelas, Air sekarang benar-benar kebingungan.

"Tapi, Nami?" tanya Air.

"Nik, Tante Air tanya, boleh nggak Tante jadi ibunya Nonik?" tanya Akar kepada anaknya.

Nami mengangguk mantap. "Kata papa, kalau Tante jadi ibunya Nonik, nanti bisa main tiap bareng tiap hari."

Air tertawa. "Nami beneran mau tante jadi ibunya Nami?"

"Beneran. Tante mau jadi ibunya Nonik?"

Air merentangkan tangan. "Sini, tante mau peluk Nami dulu."

Anak itu bergerak ke pangkuan Air. Kembali, didekapnya tubuh anak itu erat-erat. Dilahapnya perasaan yang tiba-tiba menghangat. Kebingungannya sirna dimakan rasa sayangnya kepada sosok yang ada di pelukan. Air memejam, tepat saat Akar ikut merentangkan tangan di pundaknya, dan mencium ujung kepalanya.

"Thank you, Sayang," bisik Akar.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang