Bab 27

1.4K 109 10
                                    

Hujan sudah tidak sederas tadi sore. Tersisa gerimis yang mengiringi Air dan Mada berjalan dari parkiran menuju ke sebuah kafe. Mereka memutuskan keluar dari rumah sejenak, untuk berbicara lebih dalam soal apa yang terjadi di antara mereka di kafe kecil, lima ratus meter dari rumah Air.

Keheningan masih menyelimuti, bahkan beberapa menit usai pramusaji meletakkan kopi dan coklat panas di hadapan dua manusia itu. Dari seutas kata maaf dari Air tadi, Mada sudah bisa menerka ke mana tujuan mereka bicara. Pria itu hanya menunggu tanda benar-benar nyalang menyala.

Di menit ke sekian, akhirnya Mada berdeham. Ia mencoba memecah suasana, biar dia mereka bisa memulai pembicaraan soal kisah yang entah akan berakhir singkat, atau berubah jadi kisah yang panjang tanpa akhir.

"Waktu Puspa menyodorkan nama kamu ke aku, jujur, aku tidak pernah ragu sedikit pun tentang kamu, Ir. Feeling aku bilang kalau kamu itu orang yang sangat menyenangkan, dan aku merasa klik bahkan sejak pertama kali kita bertemu. Aku benar-benar tidak menghiraukan sesuatu yang tadinya mengganjal sejak awal pertemuan kita, karena aku yakin dan berharap aku bisa menggantikannya."

Air mendongak ketika Mada selesai dengan kalimatnya. "Menggantikannya?"

"Puspa sudah cerita soal kamu. Soal bagaimana kamu mencoba untuk melupakan seseorang. Dia juga cerita soal usahamu membuka hati buatku." Mada memiringkan kepalanya, pandangannya tak lepas dari perempuan yang duduk di depannya itu.

Ketika Air menunduk, Mada mengelus punggung tangan Air yang memegang cangkir coklat di atas meja. "Ir, lihat aku."

"Maaf, Mas. Aku sama sekali enggak bermaksud mempermainkan kamu. Aku benar-benar sudah mencoba sebisaku. Hingga akhirnya dia datang lagi, lalu−" Kalimat Air terhenti.

Pria itu tersenyum sangat-sangat tipis, lalu ia menggenggam tangan Air dengan kedua tangannya. Ia memindai sosok perempuan yang akhir-akhir ini mengisi kekosongan hidupnya, biar lekat di benak.

"Aku ngerti. Perasaan memang tidak bisa dipaksakan," ucapnya, sembari menyeka air mata yang lolos dari kelopak perempuan di depannya.

"Waktu aku mengantarmu sepulang dari pesta pernikahan Puspa dan Kendra, souvenir-mu ketinggalan di mobil. Tadinya aku mau balik buat anter itu karena aku baru beberapa meter dari gang rumah. Tapi waktu aku hampir sampai, aku lihat kamu berdiri sama seseorang. Dan, mobilnya sama dengan yang terparkir di depan rumah tadi."

Mada mengambil udara banyak-banyak sebelum melanjutkan lagi bicaranya. Ia melepaskan genggamannya dari tangan Air.

"Waktu itu kayaknya kamu sama sekali enggak sadar kalau aku lewat. Dari cara kalian saling tatap, ada sebuah kenyataan yang selama ini coba aku sangkal. Kenyataan kalau ternyata masih ada orang lain di situ." Mada menunjuk dada Air dengan telunjuknya.

"Sejak saat itu, aku mencoba untuk meyakinkan diri kalau apa yang dibilang Puspa itu benar. Kamu lagi berusaha membuka hati buatku. Tapi aku sendiri enggak bisa menahan diri buat tahu hasilnya bagaimana. Makanya waktu itu aku coba menawarkan langkah selanjutnya setelah kita saling mengenal. Tapi itu bukan karena aku terburu-buru untuk gandeng kamu ke altar, Ir. Bukan. Aku cuma mau memastikan kalau kita memang memiliki perasaan dan keinginan yang sama, sebelum kita saling menyakiti lebih lama."

Air menyeka air matanya, lalu menggenggam erat tangan Mada. "Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku sama sekali enggak bermaksud menyakiti kamu. Berkali-kali coba, tapi ternyata ... aku enggak bisa, Mas."

"Hei, dengar." Mada menangkup wajah Air dengan kedua tangannya. Pria itu menggeleng pelan, "Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kamu tidak membuat kesalahan. Aku baik-baik saja, Ir." Lesung pipi itu tampak kembali. Mada tersenyum, menampilkan dirinya sebagaimana yang ia ucap.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang