Bab 29

1.4K 99 2
                                    

Penanda waktu yang menempel di dinding sudah menginfokan kalau Air masih tertahan di belakang meja hingga lima belas menit usai jam kerja. Yuna masih sibuk dengan berkas-berkas surat jalannya. Maklum saja, karena dari gosip yang beredar, bulan depan akan ada audit internal.

"Yun, nggak pulang?" tanya Air sembari tersenyum penuh arti.

"Bentar, Mbak. Masih ada yang harus aku kerjain." Yuna tidak menatap Air sama sekali. Kepalanya menunduk, sesekali menatap ke komputer di depannya.

"Ya sudah. Aku pulang duluan. Kerja yang bener, Yun. Auditornya galak," pamit Air, sekaligus meledek teman seruangannya itu.

"Ntar aku beliin es kopi biar enggak galak-galak. Hati-hati, Mbak," ucap Yuna sembari menyunggingkan senyum lebar, seolah dia tidak merasa lelah seharian bekerja dan akan ditambah lembur karena keinginan sendiri.

Air berjalan keluar kantor, kemudian menuju ke tikungan. Lepas makan siang bersama Puspa, Air mengirim pesan kepada Akar. Dia memperbolehkan Akar menjemputnya sepulang kerja asal tidak benar-benar di depan kantor MJN. Akhirnya disepakati kalau Akar mesti menunggu di tikungan yang berjarak kira-kira tiga ratus meter dari kantor Air.

Ketika melihat sedan hitam berpelat nomor familier di depan, Air menoleh ke belakang. Setelah dirasa tidak ada seseorang yang dia kenal melintas berada tak jauh dari tempatnya, Air mempercepat langkahnya. Sedikit ragu, Air mengetuk kaca mobil penumpang depan. Tak lama, kaca itu bergerak turun, menampilkan sosok pria yang tersenyum kepadanya.

"Masuk," ucap Akar, seraya membukakan pintu dari dalam.

"Kita mau bicara di mana?" tanya Air, begitu mendaratkan tubuhnya ke bangku.

"Rumah?" Akar menyalakan mesin mobil, meski pandangannya masih tetap ke Air. "Ada Nami di sana, cuma sore ini dia ada les gambar. Kita bisa bicara berdua."

Akar mulai melajukan mobilnya begitu Air mengangguk setuju. Sejak mulai bergerak, Air memalingkan pandangan ke sisi kiri. Seolah ingin menyendiri kendati ada sosok lain semobil dengannya saat ini. Pikirannya tertarik ke percakapannya bersama Puspa saat makan siang tadi. Soal apa yang membuatnya bisa menerima pertemuan demi pertemuan kembali dengan Akar dan bahkan mengenal Nami.

Air tidak bisa menampik lagi, kalau perasaannya tidak berbeda. Cintanya masih ada, meski sempat terkurung benci karena kecewa. Kemudian, ketika kata maaf terucap dari bibir Akar, ketika pengakuan diterima oleh telinganya, perlahan amarah mulai mereda.

Namun, Akar yang berada di sebelahnya bukanlah Akar yang sama seperti yang dikenalnya dulu. Dengan sudut mata, Air melihat sosok yang fokus mengendara. Mobil yang dikendarai, aroma wewangian yang dia hidu, jam yang melingkar di tangan kirinya, ponsel yang dipakainya, bahkan kemeja yang melekat di tubuhnya, mencelakkan siapa Akar sebenarnya.

Air menunduk. Akar tidaklah sepadan dengannya. Perempuan itu mencengkeram ujung tas yang dia pangku. Dalam diam, dia berupaya mengutamakan kewarasan alih-alih membesarkan perasaan.

"Kenapa?" tanya Akar. "Lagi ada masalah?"

"Enggak," jawab Air singkat.

Air kembali menatap ke jalan ketika menyadari kalau mereka sudah masuk ke area perumahan tempat di mana Akar tinggal. Jalanan luas ber-paving dengan pepohonan rindang, rumah-rumah besar dan megah di deretan blok terdepan, seolah makin menekankan apa yang Air pikir barusan.

"Yuk," ajak Akar, begitu mematikan mesin mobil.

Air bergegas keluar, lalu berjalan pelan menuju pintu. Ketika hendak masuk, Air tersentak kala tangan Akar melingkar di bahunya.

"Kita lewat samping saja. Biasanya Nami les gambar di ruang tamu. Kalau lihat kamu, bisa-bisa dia enggak konsen belajarnya," ucap Akar, sembari tersenyum.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang