Bab 36

1.1K 75 4
                                    

"Om kamu yang nanti akan handle Semarang sebelum kita dapat orang baru. Kamu dan Nami, balik ke Surabaya. Mama bisa uruskan sekolah Nami di sana." Fira menatap Akar lekat-lekat. Posisi duduknya yang tegak dengan kaki tersilang dan kedua tangan ditumpukan ke atas meja, berusaha mempertontonkan dominasi meskipun kepada putranya sendiri.

Akar melengos. Dia sudah menduga bagaimana sikap keluarganya ketika mendapati hubungannya dengan Air. Bahkan sejak bertahun yang lalu, Akar sudah mempersiapkan segalanya untuk memperjuangkan Air karena ia tahu kalau ia menentang kehendak keluarganya. Namun, sekarang? Delapan tahun setelah dia menuruti tuntutan kenapa mereka masih juga merongrong keinginannya?

"Goldy? Apa kepentingan Mama, kok, repot-repot mengurusi yang bukan urusan Mama?" sindir Akar.

"Kepentingan mama adalah memastikan masa depan anak dan cucu mama aman, nyaman, dan bahagia."

"Aku harus menikah dengan siapa lagi biar masa depanku aman?" Akar menatap Fira lurus-lurus. "Setelah Vanya karena janji sialan Kakek dengan Pak Tedjaprakarsa, sekarang siapa? Yang punya perusahaan apa?"

"Akar!"

"Selama ini, Mama sama sekali tidak pernah mengurusi Goldy. Ah, aku lupa. Mama pernah mengurusi Goldy, hanya satu kali. Delapan tahun yang lalu. Tepatnya setelah Papa meninggal, dan akhirnya mama yang bertugas untuk memaksaku menuruti kemauan Kakek untuk menikah dengan Vanya. Supaya aku bisa duduk di posisi Papa, mengurusi Goldy sampai mati. Jadi sekarang, kalian ingin aku menikah dengan siapa lagi supaya masa depanku aman? Oh, bukan. Masa depan mama dan semua anggota keluarga Tenggara yang aman." Akar mendengus. Ucapan Faisal tadi sudah memberinya sedikit petunjuk alasan Fira bertandang ke Semarang.

"Dengar, Kar. Kakek kamu sendiri yang minta kamu pulang ke Surabaya. Segera." Fira beranjak. Suara derap sepatu dan pintu yang tertutup kencang membuat Akar kian membesarkan emosi dalam hati.

Akar terdiam sesaat. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Pandangannya tajam menatap ke depan. Brengsek!

***

Tatapan heran dan canggung yang tampak dari sorot mata Air terbayang di benak Fira. Perempuan itu memang berparas ayu tapi tampak begitu sederhana. Meski tidak begitu putih, tapi kulitnya bersih, matanya bulat jernih, wajahnya cenderung kecil dengan riasan ala kadarnya. Sangat berbeda dengan Vanya, almarhum menantunya yang tampak selalu memesona karena riasan dan penampilan yang mumpuni bahkan untuk sekadar berbelanja ke supermarket.

Sejak kedatangannya kemarin siang, Fira sibuk memikirkan cara-cara agar Akar mau menuruti kehendaknya seperti dulu. Dia tahu kalau anaknya itu sudah terlampau dewasa dan semakin sulit dikendalikan. Perempuan itu menggeleng kala teringat kata-katanya soal mencari ibu baru buat Nami.

"Tapi bukan sembarangan perempuan. Astaga, kenapa dia mirip sekali dengan Almarhum Papa." Fira memijat dahinya.

Fira mengambil ponsel dalam tas tangan kemudian mengecek riwayat percakapannya dengan Fendi kemarin. Dalam percakapan itu, Fendi mengirimkan nama, alamat, tempat kerja, dan foto-foto kebersamaan perempuan asing itu bersama putra dan cucunya. Foto terakhir yang dia terima adalah foto yang menampilkan sosok bernama Airwening dari samping. Perempuan itu menggandeng tangan Nami yang tersenyum menatapnya. Tentu saja hal itu membuat hatinya gusar. Napasnya tercekat, ada perasaan asing yang seketika melekat. Cepat-cepat ia memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya, kemudian keluar dari kamar.

Fira menggeleng pelan. Tidak bisa. Mau seperti apa pun hubungan mereka, Akar enggak bisa sembarangan begitu.

"Mbok Asih," panggil Fira sembari menutup pintu kamar.

Dengan tergopoh-gopoh, perempuan yang dipanggil itu segera mendatangi Fira. "Iya, Bu?" tanyanya.

"Pak Sulis pergi mengantar Akar ke kantor?" Fira berjalan menuju dapur, mengambil gelas bening di atas meja makan.

"Iya, Bu. Tapi orangnya sudah di depan. Mas Akar tadi kasih pesan ke Pak Sulis, biar stand by di rumah, jaga-jaga kalau Ibu butuh pergi-pergi."

"Bagus. Kalau begitu, suruh Pak Sulis siapin mobil, saya mau jalan."

Fira menyandarkan bokongnya di ujung meja. Otaknya merancang rencana perjalanan dengan alamat yang sudah digenggamnya sekarang. Ia tahu, kalau ia mesti benar-benar mengerjakan segalanya dengan saksama. Dikesampingkannya segala hal yang mengganjal dalam benaknya, setiap rasa iba dan bayangan senyum Nami yang ia lihat tadi.

"Bu, mobil sudah siap." Mbok Asih membuyarkan lamunan Fira. Perempuan itu menegakkan badan. Setelah melirik ke pegawai yang mengurusi rumah, dia bergegas berjalan menuju pintu.

Di samping mobil, Pak Sulis sudah berdiri, menunggu tuannya mendekat. Laki-laki setengah baya itu membukakan pintu penumpang belakang begitu Fira berhenti di dekat pintu mobil.

"Saya mau lihat rumahnya Airwening," katanya, usai Pak Sulis masuk mobil dan menutup pintu.

"Kenapa?" Fira melepaskan kacamata hitamnya, memiringkan kepala ke Pak Sulis. Pria itu tampak salah tingkah dengan permintaannya. Seperti terkejut dan bingung dengan perintah barusan. "Kamu pasti ngerti di mana rumahnya Airwening, kan? Nggak perlu saya kasih tunjuk alamatnya, kan, Pak Sulis? Kita ke sana sekarang."

Aura Fira mendominasi, ucapannya telak tak terbantahkan. Apalagi yang ia hadapi adalah pegawainya sendiri. Mobil itu melaju menuju jalanan asing yang tidak Fira pahami. Perempuan itu hanya memandang ke luar kaca pintu mobil.

Bayangan peristiwa puluhan tahun silam, tepat setelah papanya meninggal dunia kembali terbayang. Peristiwa di mana dia diusir dari rumah orangtuanya sendiri tanpa harta peninggalan mereka. Fira ingat betul sosok penipu yang telah mengombang-ambingkan keluarganya dan menguras seluruh harta.

Tidak akan pernah terulang. Fira mengepalkan tangan di atas pangkuan. Sungguh, dia bersumpah Akar tidak akan pernah meninggalkan perusahaan keluarga, kenyamanan, dan kemudahan yang selama ini dia dapat hanya karena perempuan. Keluarga Tenggara tidak akan mengalami hal yang sama dengan keluarga kandungnya.

Tanpa Fira sadari, mobil sedan hitam yang dia tumpangi berhenti, berjarak beberapa meter dari rumah sederhana dengan pagar kotak jaring-jaring berkarat yang ditunjuk Pak Sulis. Fira berpindah ke sisi belakang sopir. Dia membuka kaca jendelanya, mengamati rumah itu.

"Itu rumahnya? Akar sering ke sini sama Nami?" tanya, masih mengamati rumah yang tampak sepi itu.

"Iya ... Bu," Pak Sulis menunduk.

"Seberapa sering? Sejak pindah?" desak Fira.

Belum sempat Pak Sulis menjawab pertanyaan Fira, perempuan itu menaikkan sedikit kaca mobilnya. "Itu siapa?"

Pak Sulis mendongak, mengarahkan pandangan ke rumah Air. "Itu Bu Wisnu, ibunya Mbak Air, Bu."

Wanita yang mengenakan daster batik kebesaran warna coklat gelap keluar dari pagar. Dia berhenti tepat di depan rumahnya dengan kepala menoleh ke kanan dan kiri. Tak lama kemudian penjual sayur mendekat kepadanya.

Fira mendengkus, melirik sopirnya. "Pak Sulis saja ngerti betul tentang perempuan itu dan keluarganya, ya?"

"Jalan lagi. Kita ke kantornya Akar." Fira menaikkan kaca mobil, lalu menatap ke depan.

Laju mobil membelah jalanan kota Semarang dengan tanpa tergesa-gesa. Rupanya Pak Sulis masih ingat benar kalau Fira lebih suka kecepatan sedikit pelan sebab juragan perempuannya itu kerap memikirkan banyak hal sepanjang jalan. Terutama memikirkan apa yang hendak dikatakan dan apa yang mesti dilakukan begitu sampai di tempat tujuan. Pandangannya lurus ke depan, rahangnya menegang. Genggaman di handle tasnya semakin kencang.

Tiba-tiba, Fira mengambil ponselnya. Dia menyentuh layar yang sudah menyala menampilkan daftar nama, lalu mengetuk nama Fendi di sana.

"Fen, kapan kamu berangkat ke Semarang?" tanya Fira.

"Mungkin dua atau tiga hari lagi. Ada banyak hal yang harus aku siapkan, Mbak," jawab Fendi.

"Lebih cepat, lebih baik. Bagaimana kondisi Papa? Apa baik-baik saja?"

"Om Candra beberapa kali mengeluh sesak. Tapi sudah aku panggilkan dokter keluarga. Sementara Mbak Fira di sana, aku dan Amel menginap di sini. Kalau bisa Mbak Fira segera balik ke Surabaya."

Fira mengesah. Ia memejamkan mata, lalu menanggapi ucapan Fendi, "Mbak percaya sama kamu. Kalau Akar terlalu sulit, kita coba bicara ke perempuan itu."  

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang