Bab 18

1.5K 128 3
                                    

Taksi online yang ditumpanginya berhenti tepat di muka sebuah rumah dua lantai dengan pagar terbuka. Air bisa melihat sebuah mobil sedan berpelat L yang familier ada di sana. Kedua tangan di pangkuannya mengepal, mencoba meyakinkan diri atas keputusan yang barusan ia ambil. Memenuhi undangan dari mantan kekasih yang telah meninggalkannya tanpa berita, hanya karena seorang anak kecil.

"Mbak?" tanya sopir yang membalik tubuhnya ke arah Air. Barangkali pria setengah baya itu merasa ganjil karena penumpangnya hanya diam sejak berapa menit, padahal sudah sampai di titik tujuan.

"Oh, maaf." Air menyerahkan uang tunai kepada sopir. "Terima kasih."

Air lekas turun, dan dengan segera pula mobil itu melaju meninggalkannya yang masih tergugu menatap rumah di depan mata.

Meskipun sudah memperlambat langkahnya, tak butuh waktu lama juga Air tiba di depan pintu kayu warna putih yang tertutup. Mau seperti apa pun hubungan mereka kini, penghuni rumah ini tetap jadi sejarah dalam hidupnya. Sekeras apa pun Air mencoba bersikap biasa saja, toh nyatanya lakunya tetap berbeda. Apalagi alasannya kalau bukan karena hubungan masa lalu mereka yang tidak berakhir baik.

Seketika pikiran buruknya berhamburan, mempertanyakan ke mana logika yang selama ini ada? Sebab apa yang terjadi detik ini sungguh benar-benar di luar nalar. Hanya karena Akar bilang anaknya ingin berkenalan, lantas dengan mudahnya ia mengiyakan ajakan pertemuan? Hanya karena ia teringat gadis dengan pipi tembam dan senyum menawan, ingatan soal luka lama kepada Akar bersembunyi entah ke mana? Bagaimana bisa?

"Ini, konyol. Enggak, enggak. Kayaknya aku enggak bisa." Air mengurungkan niatnya mengetuk pintu, dan berbalik. Namun, belum sempat ia melangkah pergi, suara pintu terbuka membuatnya menoleh ke sumber suara.

Terlambat.

Seorang wanita paruh baya dengan daster besar dan rambut yang tergelung rapi tersenyum kepadanya, lalu mempersilakan Air masuk ke dalam. "Tamunya Mas Akar, ya? Silakan masuk, Mbak. Mas Akar dan Nonik lagi di atas. Saya panggilkan sebentar," katanya, ramah.

Mau tak mau Air menurut ucapan perempuan itu. Ia duduk di sofa hitam yang dipersilakan baginya, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak ada foto atau pun lukisan di ruangan besar ini. Hanya ada sofa hitam panjang dan meja kaca sebagai pelengkapnya. Ada juga televisi besar yang menempel di dinding, beserta lemari buffet kayu yang berdiri di bawah televisi. Di atasnya hanya berisi beberapa barang seperti kunci mobil dan deretan buku yang tidak seberapa banyak.

Suara langkah dari belakang membuat Air membalik badannya. Akar menggandeng Nami turun dari tangga. Pria itu tersenyum lebar.

"Hai, sudah lama?" tanya Akar, kemudian menoleh ke Nami yang bersembunyi di balik kakinya. "Nik, salam dulu sama Tante Air. Kan, kamu yang mau ketemu, kok, sekarang malah malu-malu."

Air mengulurkan tangan, mengelus lengan gadis kecil itu. "Hai, anak cantik."

Akhirnya, Nami melepaskan gandengan dari Akar dan menyambut tangan dan menempelkan pipi gemuknya ke punggung tangan Air.

"Harusnya bilang kalau mau berangkat, jadi aku bisa jemput kamu," ucap Akar, seraya menuntun Nami duduk di sebelah Air.

"Enggak perlu, aku bisa naik ojek atau taksi. Lagian titik Google Maps yang kamu kirim juga sesuai."

"Tante, aku punya gambar baru," ucap Nami, memecah obrolan.

Belum sempat Air menanggapi ucapannya, Nami keburu berlari menuju tangga, lalu naik dengan hati-hati. Akar dan Air mengamati perilaku anak itu dengan penuh waspada. Tiba-tiba Nami berhenti, kemudian berjongkok memandang Air dan papanya.

"Sini," ucap Nami sambil melambaikan tangannya ke arah dua orang dewasa yang memandangnya siaga. Sepersekian detik, Air dan Akar saling menatap, mereka serentak berdiri kemudian menyusul Nami yang perlahan menaiki tangga seorang diri. Melihat dua orang dewasa itu menghampiri, Nami melanjutkan lagi langkahnya ke lantai dua.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang