Bab 11

1.8K 131 5
                                    

Cahaya matahari memaksa Akar membuka matanya. Dahinya mengerut, tangannya meraba bantal, lalu membekap wajahnya. Enggan beranjak dari tempat tidur yang memeluk posesif tubuh, Akar membalik tubuh, menghindari sinar yang mengganggu waktu bangun siangnya. Kehendaknya tidak seirama dengan gerakan tergesa di kasur empuk tempatnya bermalas-malasan. Akar mengerang, kemudian seolah tahu siapa yang membangunkannya, tangan kokohnya menarik tubuh seseorang menempel pada tubuhnya.

"Papa, setop! Papa bau, ih. Belum mandi," pekik gadis kecil berkuncir dua mencoba berontak dari dekapan Akar sembari tertawa terbahak-bahak.

"Siapa yang suruh ganggu papa tidur." Suara seraknya terdengar tepat di telinga anak itu.

"Ayok, main ke mal." Ia berkacak pinggang, pandangannya tajam menatap papanya.

"Oh ya? Papa janji, ya?" Akar duduk di atas kasur, meraup wajah bantalnya, lalu ia menatap anak perempuan yang mengangguk bersemangat itu.

"OK. Papa mandi dulu, Nami tunggu di ruang makan, ya." Mengelus lembut pipi gadis kecilnya, Akar tersenyum. Tak butuh waktu lama, gadis kecil itu segera turun dari ranjang, kemudian keluar dari kamar melewati seorang wanita paruh baya yang menyaksikan interaksi ayah dan anak barusan.

"Kar, tempo hari, Miss Oliv bilang kalau Nami berantem sama teman sekelasnya lagi, rebutan puzzel." Fira, mamanya Akar mendekat kemudian duduk di tepi ranjang, menatap Akar yang bersila sembari memijit pangkal hidung, merasakan pening karena terbangun tiba-tiba dari tidurnya.

"Bukannya sudah biasa kalau anak kecil berantem, Ma?" elak Akar.

Fira menghela napas, kemudian menatap Akar yang menunjukkan wajah lelahnya. "Kamu harusnya lebih sering menemani anakmu, loh, Kar. Dia butuh sosok orang tuanya. Bukan mama keberatan mengurus cucu mama, tapi bagaimanapun, Nami tetap membutuhkan kamu ada di sisinya. Kan, kamu papanya."

"Terus, hubungannya sama berebut puzzle, apa? Oh, iya. Besok mungkin sampai waktu yang belum ditentukan, aku ngantor di Semarang, Ma."

Fira tertegun mendengar ucapan Akar. Sorot matanya menatap anak semata wayangnya itu lekat-lekat, seolah meminta penjelasan.

"Gudang, pabrik pakan, dan mitra perusahaan di Jawa Tengah ini adalah rencanaku, Ma. Jadi aku sendiri yang harus memastikan semuanya berjalan sesuai dengan sistem yang akan aku siapkan." Menyandarkan dirinya ke kepala ranjang, Akar membalas tatapan mamanya.

"Kamu bawa Nami ke sana juga? Dia bisa semakin berulah kalau tahu akan ditinggal papanya bekerja berbulan-bulan di luar kota."

"Ma, yang benar saja. Aku bakal sibuk banget, loh. Gimana sekolah Nami? Siapa yang akan mengurus dia di sana? Mama ikut ke sana juga?" Akar menggaruk kepala, kendati tidak ada rasa gatal di sana. Dia mendesis sebal dengan penuturan Fira. Jelas saja dia tidak setuju dengan itu. Dia akan sangat-sangat sibuk bekerja. Jika Nami bersamanya, siapa yang akan menjaga Nami? Bagaimana kalau ada apa-apa dengan anaknya? Tentu Akar punya dana berlebih untuk memindahkan putrinya ke sekolah terbaik di Semarang, tapi ini bukan soal uang. Ini soal kehidupan baru yang anak itu akan alami, dan Akar tidak merasa punya daya untuk mendampingi.

"Kalau kamu bilang sampai batas waktu yang belum ditentukan, ya ajak anak kamu, dong. Dia ini sudah empat tahun lebih umurnya. Sebentar lagi lima tahun. Terus, enggak mungkin mama ikut, Kar. Mama banyak urusan di Surabaya, lagi pula, siapa yang jaga kakek kamu? Kalau ada apa-apa, yak opo (bagaimana)? Mbok Asih yang akan bantu kamu jaga Nami. Soal sekolah, biar Mama yang urus. Nami itu tidak cuma butuh uang kamu saja, Kar. Dia butuh kamu, butuh figur orang tuanya." Suara Fira tegas, tanpa bisa dibantah.

Akar terdiam, memalingkan muka ke jendela kaca. Ada percikan rasa bersalah dalam hatinya. Hampir saja Akar lupa, kapan terakhir kali mereka bertamasya bersama. Dia dan Nami, anak satu-satunya, buah pernikahannya dengan Vanya.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang