Bab 28

1.4K 97 6
                                    

Buat Air, hujan deras sejak pagi, lalu sedikit reda saat menjelang siang, tapi di sore hari kembali mengguyur tak kira-kira hingga menjelang malam membuat cuaca sedikit sejuk bahkan lebih dingin dari biasanya. Jarang sekali Semarang sedingin ini. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Nami. Anak itu masih saja berkeringat dalam tidurnya, bahkan kakinya menjejak selimut hingga jatuh ke lantai.

Banyu mengirim pesan kalau Akar dan Nami masih ada di rumah, beberapa menit sebelum Air pulang. Makanya begitu pulang dari kafe, Air langsung menuju kamar untuk melihat Nami yang tertidur pulas di ranjangnya. Perempuan itu mengusap keringat Nami menggunakan tisu. Dia mengambil selimut di lantai, lalu menyelimuti tubuh Nami kembali. Siapa yang tidak jatuh cinta, Nami sangat cantik dan lucu. Meskipun sejak kecil sudah kelihatan sekali kalau anak ini begitu keras kepala.

"Dia selalu seperti itu kalau tidak ada AC di kamarnya." Akar bersedekap, menyandarkan diri di kusen pintu kamar Air.

Air yang menyadari Akar berada di sana menatapnya dan Nami, tak menolehkan kepala. "Kalau pakai kipas angin boleh?"

"Enggak perlu. Sebentar lagi juga kami pulang, kok," ujar Akar.

Air melirik jam dinding di atas pintu. Mau tak mau, ia juga akhirnya bertatapan dengan Akar yang berjalan mendekat kepadanya. "Sudah jam sembilan malam. Apa enggak kasihan kalau harus turun sekarang?"

Akar mendekat, lalu duduk di samping Air. "Maaf, ya, kami mengganggu rencana kalian."

Air diam tanpa ada niatan untuk menanggapi kata-kata Akar. Perempuan itu malah memalingkan pandangan ke luar ruangan.

"Kayaknya dia pria yang baik," tambah Akar.

"Aku ambil bantal satu lagi di kamar Ibu." Air mencoba mengalihkan pembicaraan.

Namun, saat hendak melangkah, tangan Akar mencegahnya pergi.

"Soal yang terjadi di rumah tempo hari−" Akar berdiri, menyejajarkan dirinya dengan Air, mengunci pandangan keduanya.

"Enggak perlu dibahas," potong Air. "Aku mau ke kamar ibu dulu."

Air melepaskan genggaman tangan Akar, kemudian meninggalkan Akar di kamarnya.

Meskipun akhirnya Mada yang memutuskan untuk mundur, Air tetap tidak bisa merasa tenang semudah melepeh permen karet yang sudah tidak manis. Setidaknya dia mesti mengenal suara hatinya sendiri, sebelum melangkah ke arah yang salah.

Setelah meminta persetujuan ibu agar mengizinkan Akar dan Nami menginap malam ini, dia mengambil sebuah bantal lalu keluar kamar.

"Akar nginep sini?" tanya Banyu, saat pria itu tengah mengisi gelas bening dengan air mineral dari dispenser.

"Nami sudah tidur, Mas. Nggak tega kalau mesti dipindah ke mobil terus pulang ke bawah."

Air meletakkan bantal yang dia ambil ke kursi meja makan, kemudian mengambil isian pangsit yang tadi ia tinggalkan. Perempuan itu duduk di kursi lain, kemudian mengisi kulit pangsit dengan daging cincang yang sudah ia bumbui, dan daun bawang. Di sebelahnya, Banyu menenggak minumannya kemudian meletakkan gelas di meja dengan pandangan terarah ke adik perempuannya itu.

"Akar tadi cerita ke aku sama Ibu," ucap Banyu, lirih. "Dia cerita semua. Soal jati dirinya, soal keluarganya, soal anaknya."

Air mengangguk. "Terus?"

"Ya, terus kowe piye (kamu gimana)?"

Gerakan tangan Air terhenti, lalu memandang ke kakak laki-lakinya. "Aku ora piye-piye (enggak gimana-gimana), Mas."

"Tenan (sungguh)?" tanya Banyu lagi, seolah tidak yakin dengan jawaban Air.

Perempuan itu mengangguk, lalu kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar, meyakinkan kakaknya untuk tak perlu khawatir akan suasana hatinya. "Tenan."

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang