Bab 24

1.3K 113 3
                                    

Akar berjongkok, lalu mencium Nami yang tengah tidur di pangkuan Air. "Hai, Sayang."

Pria itu kemudian memandang Air. "Capek, ya? Aku pindahin Nami ke atas dulu."

Dengan sekali gerakan, Akar berhasil membopong tubuh Nami, lalu membawanya ke lantai dua. Air mengikuti langkahnya memasuki kamar bernuansa merah muda. Usai Akar menidurkan Nami ke ranjangnya, Air menarik selimut, menutupi tubuh Nami hingga ke dada, sedangkan Akar mengatur suhu AC kamar.

Akar menoleh ketika melihat Air berjengkeng di tepi ranjang sembari mengelus ujung kepala anaknya. Pria itu berjalan mendahului keluar kamar, lalu mengamati interaksi dua perempuan dari kejauhan.

Tak lama, Air bergerak juga. Perempuan itu berjalan menuju pintu. Dengan posisi badan membelakangi pintu, dia menyalakan lampu tidur, dan mematikan lampu utama. Perlahan ditariknya gagang sampai daun pintu menutup tanpa suara.

Akar mendekat ketika Air tiba-tiba berbalik. Tubuh mereka bertabrakan. Spontan, Akar memegang punggung Air, sedangkan perempuan itu tampak terkejut lalu mendongak. Jarak mereka sangat dekat, sampai Akar bisa menatap bola mata Air yang bergerak memindainya.

Rasa-rasanya seperti terlempar ke beberapa tahun silam, kala mereka pernah sedekat ini, merasakan getaran yang sama dan saling melempar pandangan penuh cinta. Akar menelan ludah ketika merasakan dorongan yang kian kuat dari diri.

Perlahan, dengan tangan bebasnya Akar mengelus pipi Air. Sejak kelahiran Nami, tidak pernah terlintas di pikirannya akan membangkitkan hasrat yang dimatikannya. Namun, kali ini justru Namilah yang membuatnya menggeliat. Mendesak kewarasan, meminggirkan penyesalan, dan ketakutan-ketakutan. Sebab sosok di depannya adalah sebenar-benarnya yang memiliki sebagian hatinya.

Keduanya sama-sama terkunci dalam interaksi ganjil yang tanpa sadar mereka bangun. Perlahan, Akar memangkas jarak di antara mereka. Keduanya saling tatap, bertaut. Seolah-olah takut sosok di depannya bisa hilang dalam sekali kedip.

Akar kian memangkas jarak yang sejak semula tidak seberapa. Dengan bibirnya, ia menyentuh bibir Air. Matanya memejam, merasakan kelembutan. Pria itu kian mengeratkan rengkuhan kala tidak merasakan penolakan. Jamahan bibirnya serupa pembangkit memori yang dia simpan rapat-rapat, yang selalu dirindukan di malam-malam kelam.

Sentuhannya kian tidak sekadarnya. Saling taut, saling lumat, hingga lekat. Seolah terlena dengan hangat peluk mesra yang makin terasa sama di titik-titik rentannya, terasa sama kendati puluhan purnama tidak dia rasa. Akar seperti menemukan air yang dibutuhkannya setelah sekian lama mengering dan hampir mati.

Namun, tiba-tiba Air membuka mata, lalu bergerak mundur. Akar melepaskan sentuhannya, kemudian menatap wajah Air yang memerah. Pria itu mengelus bibir Air dengan kedua ibu jarinya.

Akar memindai perempuan di hadapannya. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Akar tahu, Air sedang menahan tangisnya.

"Maaf," ucap Akar.

Air menyentuh wajah Akar dengan kedua tangan. Bulir-bulir itu luruh kala Air menunduk, menempelkan dahinya ke dada Akar. Tangannya bergerak turun hingga ke kemeja Akar, lalu dicengkeramnya kuat-kuat. Isaknya terdengar seperti bunyi yang memekakkan telinga, yang membuat ngilu, sampai sakit rasanya.

Akar melingkarkan tangannya ke tubuh Air lalu mencium ujung kepala Air dalam dan lama. Dipeluknya tubuh mungil itu begitu erat. Akar menarik napas dalam-dalam. Rasa bersalah menikam ulu hatinya. Sedu sedan Air menyayat jiwanya begitu dalam.

Rahangnya mengencang. Pelukannya tidak berkesudahan. Pria itu memejamkan mata. "Maaf ... aku minta maaf."

***

Air terbangun di kasur besar seorang diri. Matanya terasa bengkak. Dengkuran halus dari seberang ranjang membuatnya menoleh, lalu mendekat ke sumber suara. Akar tidur di sofa, berselimut jaket tebal yang ia tenteng sepulang dari Surabaya.

Air berhenti di depan sofa, memandang Akar yang terlelap. Cahaya remang-remang tak menyulitkannya mengamati pria itu. Ia bersimpuh di samping sofa, lalu menyentuh wajah Akar dengan telunjuknya. Air memiringkan kepala, mengamati wajah Akar yang tampak polos, terlelap dalam tidurnya.

Pria ini adalah pria yang pernah ia kenal sejak ia duduk di bangku kuliah. Pria yang ditahunya adalah sosok sederhana yang tidak memiliki kekayaan berjuta-juta, pria yang cerdas dan jenaka. Pria ini adalah pria yang begitu ia cinta. Dan, pria ini juga adalah pria yang sama, yang pernah meninggalkannya tanpa kabar berita tujuh tahun lalu. Dan, kini dia telah kembali. Namun, sungguhkan dia kembali?

Ada satu waktu kala Air merasa kalau dia sudah bisa melupakan Akar. Berbekal keyakinan kalau cinta akan datang dengan sendirinya, seiring waktu bersama pria, yang entah siapa. Namun, muskil. Hingga saat ini, tak juga ada yang membuatnya berdebar sama seperti saat ia bersama Akar. Sekeras apa pun ia mencoba, toh hati tidak dapat dipaksa. Air menyerah pada akhirnya. Ia kembali menekuri kesendirian lagi.

Gerakan tangan Air di rahang Akar terhenti kala pria itu menangkapnya. Mata Akar perlahan terbuka. Air yang terkejut menarik tangannya, lalu berdiri.

"Kok enggak tidur?" tanya Akar, sembari bangkit dari rebah.

"Kebangun."

Tangan Akar mencekal saat Air hendak berbalik menuju rajang. Sontak, Air menoleh. Mereka kembali berpandangan.

"Kenapa?" tanya Akar.

"Enggak kenapa-kenapa. Tempat asing, jadi wajar kalau aku susah tidur," jawab Air.

Akar melepaskan genggamannya di tangan Air. "Mau aku ambilkan minum?"

"Enggak perlu. Mas Akar tidur lagi saja." Sejenak Air terdiam, lalu memalingkan pandangan ke arah ranjang. "Maaf sudah ganggu."

Kemudian, Air berjalan menuju ranjang. Dia memiringkan badan menghadap ke jendela setinggi tembok yang tertutup gorden tebal. Dipejamkannya mata, berupaya mengusir perasaan ganjil yang mendera. Air merutuk diri, kenapa dia mesti menghampiri Akar dan menyentuhnya tadi?

Kendati matanya tertutup, Air masih terjaga. Dia masih bisa dengan jelas mendengar suara-suara pelan dari sofa, lalu suara langkah yang mendekat kepadanya. Tak lama, Air kembali mendengar suara langkah menjauh lalu pintu yang terbuka dan tertutup lagi.

Air membuka mata. Sepintas kejadian di depan kamar Nami terbayang lagi. Cara Akar memandangnya, sentuhan lembut bibirnya, suara yang membisikkan kata maaf ... serupa jalan yang bersimpang tanpa papan petunjuk arah. Membuatnya semakin bimbang dan ragu, mana yang mesti dipilih untuk dilalui.

Air tidak mampu mengingkari, kalau ada bagian terdalam di hatinya seperti kembali penuh saat Akar berada mereka kembali berjumpa. Namun, ada juga keraguan yang membuatnya ingin mundur, terutama kala Air teringat sosok pria lain yang akhir-akhir ini mencoba mencuri atensi.

Ada rasa sesal yang tiba-tiba hadir ketika Akar menyentuh bibirnya. Rasa bersalah itu kian tegas di logika, sebab dengan sadar Air tidak berbuat apa-apa. Ada seseorang yang sedang menunggunya membuka hati, tapi di malah di sini bersama pria lain yang pernah menyakitinya hingga tak keruan.

Air kembali menutup mata ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka lagi. Langkah seseorang terdengar mendekat. Sosok itu naik ke ranjang yang sama di mana Air berbaring miring. Perempuan itu tetap diam, kala sebuah selimut menutup badannya. Degup jantungnya kian terasa, ada tangan yang melingkar, memeluknya.

"Sudah bisa tidur, ya?" Akar berbisik tepat di telinga.

Air tetap bergeming ketika Akar mencium kepalanya. Dalam diam dan pejam, Air bergerak ketika tangan Akar perlahan menyelusup di antara lehernya. Tubuhnya didekap erat. Membawa rasa hangat bukan sekadar di badan saja, tapi merambat hingga sanubari

"Aku minta maaf, Air. Aku boleh, ya, peluk kamu semalaman? Satu kali ini saja," bisik Akar.

Air mata Air lolos kendati dia masih terpejam. Di balik selimut, tangan Air bergerak menyentuh jemari Akar. Seketika, ia menyadari, bahwa kebenciannya tak lebih besar dari cinta yang ada.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang