Bab 14

1.6K 127 8
                                    

Nami adalah anak yang cerdas. Di usianya menjelang lima tahun, dia sudah lancar berkomunikasi, selalu tahu apa yang dia mau dan tidak pernah segan untuk bertanya dan meminta sesuatu. Namun, dia bukanlah anak yang dengan mudah bisa berbincang dan percaya kepada orang asing, efek ajaran Oma Fira yang kerap mencekokinya ajaran soal begitu banyak orang jahat di luar sana. Hasilnya, Nami jadi selektif dengan orang-orang yang berusaha mendekatinya.

Akar memperhatikan Nami yang tertidur di bangku penumpang depan. Bagaimana bisa, Nami minta ditemani oleh Air waktu dia menghilang tadi, padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Akar mengelus pipi gemuk Nami dengan punggung tangannya. Anak itu sedikit bergerak tetapi tidak juga membuka mata. Mungkin bermain dan belanja adalah kegiatan yang melelahkan baginya. Menghela napas, Akar bergegas membuka pintu mobil, lalu keluar ke sisi bagian Nami, mengangkat tubuh Nami hati-hati, lalu menggendongnya masuk ke dalam rumah yang dia sewa dari koleganya sebagai tempat tinggal sementara di Semarang.

"Pak Sulis, minta tolong belanjaannya di mobil, ya." Akar memberikan kunci mobil ke Pak Sulis yang duduk di sofa ruang tamu. Dengan sigap, bapak berusia hampir lima puluh tahun itu melaksanakan perintah tuannya.

Begitu menidurkan Nami di ranjang kamar bernuansa merah muda, Akar menuju kamar pribadinya. Ia duduk di atas ranjang, lalu mengeluarkan dompet dari celana belakang miliknya. Akar mengambil selembar foto yang dia selipkan di bagian dalam. Di sisi yang tak tampak meski ia membuka lebar dompetnya.

Gambar seorang perempuan berkemeja putih dengan poni samping dan berambut panjang, tersenyum tipis, tampak di pas foto 4x6 yang ia pegang. Perempuan itu tampak begitu sederhana, tetapi bagi Akar, perempuan itu begitu menawan. Dia adalah perempuan sama yang tadi menemani anaknya saat sejenak menghilang dari pandangan tadi. Perempuan yang sama yang berada di kantor salah satu mitra perusahaannya, dan dia adalah perempuan yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Kepadanya, Akar memiliki hutang besar yang belum terbayar.

"Dia pasti mengira kalau aku sudah melupakannya. Dia pasti mengira kalau aku punya keluarga yang bahagia setelah berpisah darinya."

Akar memasukkan kembali foto Air ke dalam dompetnya, tapi kali ini bukan di bagian dalam. Dia menaruh foto Air di depan. Di tempat khusus foto dalam dompet. Bersanding dengan foto Nami saat anak itu berusia satu tahun.

Mengambil ponsel miliknya, Akar mengetikkan pesan kepada Faisal. Dia seakan tidak peduli kalau ini sudah pukul sepuluh malam. Tak lama, cahaya putih dari ponselnya menandakan panggilan masuk untuk segera dia jawab.

"Air?" tanpa sapaan, Faisal langsung menyemburkan sebuah nama.

"Cuk! biasa aja." Akar menjauhkan ponsel dari telinganya, memang nada tinggi suara Faisal memekakkan telinga.

"Kar, apalah kau ini? masih saja urus Air. Emangnya dia nggak punya pasangan gitu? Kalau ternyata dia sudah punya suami yang harus dijaga hatinya, mati kau," cibir Faisal dari jauh.

"Aku cuma mau bayar utangku. Bantu saja carikan nomor teleponnya. Habis itu, selesai. Oke?"

"Tap-"

Belum selesai Faisal mengucapkan sanggahannya, Akar buru-buru memutuskan sambungan. Ponselnya ia letakkan kembali ke meja, lalu ia melepaskan kancing kemeja satu per satu sembari berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Berdiam di bawah kucuran air hangat, mungkin bisa jadi jawaban untuk tekuknya yang terasa kaku. Kini, otaknya memiliki ruang yang bukan sekedar memikirkan Nami dan pabrik baru. pertemuan dengan Air barusan seperti aliran listrik yang menjalari tubuhnya, menyengat dan membuat setiap kenangan seperti kembali menyala terang.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang