Bab 21

1.7K 129 7
                                    

Ucapan Air soal pertemanan dengan gadis mungil di dalam mobil Akar memang bukan tanpa alasan. Mendengar cerita Akar soal Nami yang sejak bayi tidak merasakan memiliki mama, seperti menyulut empati dalam diri. Namun, Air sama sekali tidak menyangka kalau Nami akan meminta kembali bertemu dengannya padahal berjarak waktu yang tidak terlampau lama sejak mereka terakhir berjumpa.

Memandang Nami dari sini membuat hatinya menghangat. Nami bukan hanya lucu, dia juga pintar dan cantik, yang mudah bagi siapa pun untuk jatuh cinta kepadanya sejak pandangan pertama.

Rasanya belum puas Air memandangi Nami, pertanyaan Akar setelahnya seperti bunyi klakson yang membuatnya terjaga dan sadar bahwa ia ada di jalan yang kini berbeda.

"Laki-laki yang tadi itu pacarmu?" Akar memulas senyum yang terasa canggung. "Atau jangan-jangan sudah jadi calon suami?"

Air bukannya tak mendengar atau menulikan telinganya. Saat menunduk, dia memandang kakinya yang telanjang. Pertanyaan Akar itu mengingatkannya akan sosok pria yang bahkan baru beberapa menit lalu pulang dari sini. Laki-laki yang menjadi tumpuan kala dia lelah berjalan, laki-laki yang mau mendengar ceritanya dan melucu biar dia bisa tertawa dengan nyamannya. Seseorang yang jadi kawan datang ke pernikahan Puspa dan Kendra.

Pertanyaan Akar barusan juga seperti mengembalikan kenyataan kalau di hidupnya saat ini, ada seseorang yang sedang mencoba menarik hatinya. Pria baik, yang mencoba untuk memasuki hidupnya, yang memintanya membuka hati untuk bisa saling berbagi segala-galanya.

"Sorry, pertanyaanku salah, ya?"

Bukan. Bukan pertanyaan Akar yang salah. Hanya saja memang tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu sekarang. Air mengangkat kepalanya pelan.

"Belum." Air berdeham ketika merasakan tenggorokannya tersekat sesuatu yang entah apa. "Maksudnya, aku dan dia, belum ... saat ini kami baru ... baru mencoba saling mengenal." Air tersenyum canggung.

"Ah, oke." Akar mengangguk pelan, lalu mengangkat tangan kirinya. "Sudah terlalu malam ternyata. Kalau begitu, aku pulang dulu."

"Ya." Suara Air sedikit serak, kemudian ia mundur, memberikan ruang bagi Akar untuk membuka pintu mobil.

"Selamat istirahat." Akar tersenyum simpul sesaat ia mulai memajukan mobil, dan tampak kacanya mulai menutup lepas berjarak dari tempat Air berdiri.

Selepas kepulangan Akar, Air sejenak diam memandang jalanan lengang, yang dilalui mobil Akar tadi. Pria itu menyemai perasaan aneh dalam batinnya imbas pertanyaan yang tak pernah ia sangka-sangka.

Air menggeleng pelan, mencoba menghilangkan bayangan Akar dari otaknya, lalu menoleh ke arah rumah. Di sana tampak Ibu berada di dalam ruang tamu, menahan gorden, mengamati dirinya yang masih berdiri di seberang jalan. Air menduga kalau Ibu melihat pertemuannya dengan Akar barusan. Telapak kaki telanjangnya hati-hati melangkah menuju rumah. Ia melama-lamakan jalan, supaya bisa merangsang otaknya untuk mulai merancang kalimat dan alasan terbaik jika Ibu menodongnya bercerita.

"Nduk, tadi siapa?" Ibu duduk di ujung ranjang Air.

Benar saja, Ibu melihat interaksinya dengan Akar di seberang rumah. Air menghentikan kegiatannya menghapus riasan, lalu menoleh ke Ibu.

"Ibu enggak yakin sama penglihatannya ibu. Makanya tanya ke kamu. Itu?" tambah Ibu, mengamati Air yang duduk mendekat ke Ibu.

"Yang Ibu lihat benar, kok. Itu tadi Mas Akar." Air menghela napas, kemudian menyunggingkan senyum tipisnya.

"Akar?" Nada suara Ibu sedikit meninggi. "Kalian ketemu di mana? Setelah sekian lama, kok, dia bisa-bisanya ...."

Ibu tak melanjutkan kalimatnya. Perempuan paruh baya itu menyelipkan anak rambut Air ke belakang telinga. "Kamu enggak apa-apa, Nduk?"

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang