IRIS 30

661 148 15
                                    

- I R I S -

;

Ketika Renjun terjaga, matanya membelalak dalam kegelapan, menangkap sosok gelap yang merayap masuk melalui jendela kamar yang dibuka secara paksa. Detak jantungnya berpacu, suara nafas orang asing itu memenuhi ruangan yang sunyi. Senjata yang ditodongkan itu menyilaukan matanya yang masih setengah terpejam. Dengan refleks cepat, Renjun memutar tubuhnya, menghindar dari garis tembak yang mungkin saja menghujam. Tubuhnya jatuh dengan keras di sisi ranjang, menimbulkan suara tumpukan kain yang bergeser.

Dalam keheningan malam yang tiba-tiba menjadi arena pertempuran tak terduga, Renjun mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Dia merasakan adrenalin mengalir dalam darahnya, matanya sekarang terbiasa dengan kegelapan dan mulai bisa melihat kontur penyerang misterius itu. Sosok itu bergerak gesit, dengan langkah yang hampir tidak terdengar, namun Renjun, dengan kelincahan yang sama, berhasil menghindar setiap kali bayangan itu mendekat.

"Apa yang kau inginkan?" bisik Renjun dengan suara serak, sambil mencoba mencari sesuatu di sekelilingnya yang bisa digunakan sebagai senjata.

Orang asing itu tidak menjawab, hanya suara nafasnya yang terdengar semakin berat, seolah-olah juga merasakan ketegangan yang sama. Renjun, meskipun ketakutan, mencoba mengumpulkan keberanian. Kepalanya berputar cepat, mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Jantungnya berdebar dalam irama yang hampir tak terkendali, namun dia tahu harus tetap tenang untuk bisa bertahan.

Ketika penyerang itu melangkah mendekat lagi, Renjun dengan sigap menendang kaki kursi yang terletak tidak jauh dari tempatnya terjatuh, membuat suara yang cukup keras untuk mengalihkan perhatian si penyerang. Itu memberinya waktu untuk bangkit dan bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya. Tubuh kecilnya hampir mencapai kebebasan saat tangannya menyentuh gagang pintu, namun tiba-tiba, rambutnya ditarik dengan brutal. Teriakan kesakitan terlontar dari bibirnya saat ia dilempar ke tengah ruangan, tubuhnya membentur lantai dengan keras.

"Apa maumu?!" teriak Renjun, suaranya terbata-bata karena rasa takut. Dia berusaha merangkak menjauh, mata membelalak ketakutan saat sosok itu mendekat dengan senjata di tangan. Sinar mata pisau itu nyaris menyentuh kulitnya, saat sebuah bayangan muncul dari balik pintu.

Jeno, dengan gerakan secepat kilat, muncul dan dengan sigap menghentikan tangan sang penjahat sebelum senjata itu sempat melukai Renjun. Dengan pukulan kuat, Jeno melumpuhkan penjahat tersebut, membuatnya tersungkur ke lantai. Napas Renjun masih tersengal, matanya lebar terbuka melihat keberanian yang baru saja disaksikannya. Jeno, dengan nafas yang juga terengah-engah, mengulurkan tangan untuk membantu Renjun berdiri.

"Kau baik-baik saja, Renjun?" tanya Jeno, suaranya penuh kekhawatiran. Renjun mengangguk lemah, rasa terima kasih dan kelegaan bercampur dalam tatapannya. Saat itu, ketegangan mulai mereda, namun detak jantung mereka masih berpacu dengan cepat karena adrenalin yang belum juga reda.

Perkelahian antara Jeno dan si penyusup tak terhindarkan. Darah segar mengalir dari lengan Jeno, menetes ke lantai dingin kamar. Meski terluka, matanya masih berkobar dengan keberanian saat dia menghadapi si penyusup yang mencoba mengancam keselamatan mereka. "Kau pikir bisa lolos setelah menyakitinya, huh?" amarah Jeno meledak. Dengan gerakan cepat, dia menangkis serangan belati dan berhasil mengunci gerakan tangan si penyusup.

Renjun, yang bersembunyi di sudut kamar, menahan napas, matanya terbelalak takut tapi juga kagum melihat Jeno bertarung. Dari kejauhan, dia bisa melihat tetesan keringat yang bercampur dengan darah di dahi Jeno, menandakan betapa sengitnya pertarungan itu. Sementara itu, si penyusup berusaha melepaskan diri dengan gerakan liar, tapi Jeno tidak memberinya kesempatan.

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang