Dua

4.8K 509 13
                                    

Kepalanya berisik, langkah kakinya tidak lagi kuat seperti waktu itu, pandangannya juga mulai bura, bukan karena korneanya yang rusak, namun genangan air mata yang tak kunjung selesai.

Dadanya sesak, rasa takut yang tidak pernah pergi, bahkan perasaan aman juga tak kunjung Dia dapati.

Kali ini, Ia tidak membawa pulang apapun, semua uangnya di rampok di tengah jalan oleh preman yang mengaku penagih hutang sang Ayah, sudah sering terjadi, Becky tidak terlalu kaget lagi, namun malam ini Mereka makan apa jika semua uang itu tidak ada.

"Kami udah pulang? Mana uangnya? Hari ini gajian kan Bec?"

Jo, laki-laki tidak bertanggung jawab, judi dan mabuk-mabukan layaknya teman untuknya, Dia benar-benar tidak layak dipanggil Ayah.

"Kenapa diam aja Becky? Uangnya mana? Papa perlu uang. "

"Kenapa gak kerja aja sih Pa?" Suaranya dingin, matanya berembun lebih banyak, tangannya bergetar, ingin sekali Ia membenturkan kepala lelaki ini ke tembok, namun Ia tahan.

"Gak usah banyak omong, mana uangnya. "

Memeriksa semua sisi yang ada pada tubuh Becky, namun tidak mendapatkan apapun, keningnya berkerut, bahkan gadis itu pulang tidak menjinjing apapun.

"Mana uangnya, mana makan malam juga? Kamu sengaja buat Kami kelaparan?"

"Seharusnya Aku yang nanya gitu sama Papa, seharusnya Papa yang memikul tanggung jawab ini, bukan Aku, percuma jadi orang tua tapi nyusahin anak-anaknya. "

"Anak gak tau diri. "

Tamparan itu mendarat pada pipi kanannya, Becky tidak melakukan apapun, seperti biasa Ia membiarkan semua yang Ayahnya lakukan kepadanya, karena membela diri pun tidak akan merubah apa-apa.

"Papa. "

Suara berat khas dari Kaffa menghentikan semuanya, Jo menatap bengis Becky di sana, lalu menendangnya menjauh sebelum pergi meninggalkan Mereka.

Dengan sisa tenaga yang ada, senyuman itu tercetak ala kadarnya, Kaffa benci itu, Kaffa benci kebohongan yang Becky lakukan saat dirinya sudah jelas sedang tidak baik-baik saja.

"Duduk dulu, Aku ambilin minum. "

Namun tarikan lemah tangan Becky menghentikannya, suara pelan yang menyayat hati itu mampu menghancurkan pertahanannya.

"Kakak tadi di palak rentenir Ayah, gak ada uang sepeserpun buat beli makan, boleh Kakak pinjam uang buat beli buku kemarin gak Kaf? kasian Kalian belum makan malam kan? Kakak usahain besok siang udah ada lagi uangnya. "

Kaffa meremas jemarinya hingga buku-buku jari itu memutih, Ia benci keadaan ini, Ia benci lelaki yang tidak bertanggung jawab itu, Dia benci takdirnya yang buruk, hidup serba kekurangan dengan gelimang caci maki.

"Boleh, Kita beli apa?"

"Uang bukunya cuma 50 ribu? gimana Kita beli mie instan aja sama telur?"

"Beras juga habis. "

"Ya udah sedapetnya beras aja. "

Lelaki itu tau, berat beban yang Ia jalani tidak sebanding dengan yang Kakaknya alami, namun Kaffa berjanji, tidak akan menyia-nyiakan segala yang Becky usahakan untuknya.

"Kak, udah pulang? bawa uang gak? paket internet Kau abis, "

"Lun, bisa tunda dulu gak?"

"Ya gak bisa dong Bang, Aku perlu paket internet, buat nyari soal, kan mau ujian. "

"Palingan buka media social, udah deh, malam ini Kita harus hemat, "

"Kan Kakak gajian, gak usah pelit-pelit kali Kak, gak berkah tau uangnya. "

"Luna!. " bentak Kaffa, Luna tidak pernah tau bagaimana rasanya hancur oleh keadaan, Ia adalah duplikat buruk dari sang Ayah, dan Kaffa tidak pernah cocok dengan gadis itu.

"Kenapa sih Abang, kan emang tanggung jawab Kakak buat nafkahin Kita, Dia anak pertama kok. "

"Ayah Kamu tu yang harusnya tanggung jawab, lagian kalau Kakak gak mau nafkahin Kamu juga Dia gak dosa. "

Becky menarik Kaffa menjauh, Ia tidak yakin lelaki itu akan selesai dengan amarahnya jika tetap berada di sana.

"Lepas Kak, Aku belum selesai. "

"Kaff, udah, Luna tu gak gak ngerti ke adaan Ki...

"Kelas 3 SMA Kak, apa maksud Kakak Dia gak ngerti?, Dia harusnya mulai ngerti udah gede kan?"

Tidak semuanya bisa dipahami, kadang semua orang harus merasakan rasa sakit agar tidak terjatuh untuk kedua kali, Becky tidak menyalahkan apapun, Mereka keluarga, sudah sepantasnya saling membantu satu sama lain, dan benar yang Luna katakan, Ia anak pertama, yang seharusnya bertugas sebagai Kakak yang mampu bertanggung jawab atas adik-adiknya.

"Kak, kalau berat banget rasanya, ada Aku kok, Aku berhenti kuliah aja ya?"

"Gak, Kakak marah ya Kaf. "

"Kak. "

"Kan Kamu dapet beasiswa, ngapain berhenti. "

"Seengaknya Aku bisa kerja Kak, bantu Kakak. "

"Kuliah aja, gelar Kamu akan bawa keluarga Kita jadi lebih baik nantinya, Kakak bedo'a banget, suatu hari nanti, Kamu bisa kerja di perusahaan gede, dan mapan, Kakak jadi bangga deh sama diri Kakak sendiri, karena adik Kakak yang Kakak sayang banget bisa sukses. "

Perkataan itu jujur terdengar, dan Kaffa tau bagaimana Ibunya dan Kakaknya ingin sekali Kaffa meraih apa yang Ia impikan, dan iya, tidak akan pernah dirinya sia-siakan pengorbanan Becky selama ini untuknya, untuk masa depannya.

🔺🔻🔺

Jam dinding berdetak dengan pelan, tab di tangan kanannya menggulir banyak artikel tentang usaha yang sedang Ia rintis, celotehan Nam juga terdengar nyaring di telinga, sampai satu nama mampu membuatnya tertarik untuk meminggalkan pekerjaannya.

"Namanya Rebecca Janice, ada nomor telponnya, single, punya 3 adik, Ibunya baru meninggal, bokap pejudi dan pemabuk akut, miskin. "

"Oke?"

"Kamu ingat Irin?"

"Ya, sugar Baby Noey?"

"Yap, Dia sahabat satu-satunya Rebecca. "

Senyum Freen cerah terlihat, entahlah Dia benar-benar tertarik dengan gadis itu, parasnya yang tidak bisa hilang sampai saat ini dalam ingatannya.

"Kayaknya Dia juga anti sosial, buktinya gak ada media social apapun atas nama Dia. "

"Bagus. "

"Mau tau rumahnya?"

"Boleh. "

"Gang sempit aplosan no 5, menurut map, gak ada jalan untuk mobil soalnya sempit. "

"Oke, beliin Saya motor, vespa matic aja biar gak ribet. "

"Serius Freen?"

"Muka Saya bercanda?"

"Ah oke. "

"Uang untuk Kamu sudah Saya transfer, silahkan kerjakan tugas yang lainnya. "

Nam mengangkat bahunya acuh, walaupun Dia bertanya-tanya kenapa Freen sangat penasaran dengan seorang Rebecca, gadis cantik namun tidak menarik secara penampilan itu seharusnya bukan selera Freen.

"Sampai jumpa, Rebecca. "

 "

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HEAL ME (Freenbecky)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang