Delapan belas

4.5K 420 11
                                    

"Makan dulu Kak. "

Mata itu mengerjap perlahan, menyesuaikan dengan cahaya yang menembus retinanya, rasa pusing yang masih sangat terasa menusuk, badannya lemas terasa, dan semua rasa tidak nyaman itu membuatnya hanya mampu membaringkan tubuhnya.

Di sebelah kanannya, Kaffa terlihat menangis, entah siapa lagi yang ada di sebelahnya kali ini, Becky tidak tau, dan bahkan tidak punya tenaga untuk bertanya.

"Aku takut Ayah menemukanmu Kak, Aku tadi ke rumah sakit menemani Zeta menjenguk Mamanya, dan Aku melihat ada namamu di papan rawat inap, dan Aku masuk ternyata benar-benar Kau, Aku memohon pada keluarga Zeta untuk menebus Mu dan membawamu pergi Kak. "

Becky tidak tau harus merespon apa, sebenarnya Ia aman berada di sana, jika hal itu yang Kaffa takutkan, tapi tidak masalah, setidaknya Ia di sini sudah bersama sang Adik, Becky cukup tenang.

"Ada apa denganmu?"

Senyum palsu itu, Kaffa tau jika itu kebohongan, dan Ia tau jika sang Kakak tidak akan menjawab semua pertanyaan yang liar bergerak di kepalanya, namun satu hal yang Ia sadari apapun itu tidak akan pernah mendapatkan jawabannya.

"Kak, gak seharusnya Kakak pendam sendiri, ada Aku Kak. "

Anak pertama, harus kuat pundaknya, harus baja mentalnya, tidak ada waktu untuk mengeluh tentang betapa beratnya hidup terasa, lukannya tak perlu ada yang tau, jika masih bisa senyum itu menjadi jawaban, Ia akan lakukan walaupun rasa hancurnya tidak lagi mampu Ia mengerti sakitnya.

"Kamu udah makan Kaf?"

"Kak. " Intonasi itu mulai tinggi terdengar, namun tidak satupun mampu membuat Becky berhenti dengan semua kebohongannya, yang harus Kaffa tau, Ia baik-baik saja, Ia masih bisa hidup dengan baik setelah semua kebingungan ini membuatnya tak lagi tau harus berbuat apa.

"Uang kuliahnya udah Kakak transfer ya. "

"Kak tolong, tolong bagi sakitnya. " Tangisnya pilu, terdengar menyayat hati untuk kesekian kalinya, lagi-lagi Becky hanya diam, Ia menelan setiap rasa sakit yang tersisa, sudah sepantasnya hanya Dia yang menderita, hidup ini terlalu kejam untuk adik-adiknya.

"Ayah jual Kakak, Ayah dapet uangnya, Ayah jahat Kak, jangan diam aja, Kakak lawan. "

Bagian mana yang mampu Ia lakukan untuk menghentikan semua ini?, lalu jika Ia berontak, sebesar apa uang yang Ia siapkan untuk membayarnya?, Mereka orang sudah, ratusan ribu saja sudah sangat bersyukur, bisa makan enak saja sudah untung, lalu setidak tahu diri apa Becky ingin membuat semua hal itu menjadi berantakan?.

"Kalau emang harusnya begitu, ikhlas ya Kaf. "

"Kakak, gak gini. "

"Kakak bingung Kaf. "

"Bagi Kak, gak dipendam sendirian, Kakak anggap Aku ada gak sih? Jangan hancur sendirian. "

Setegar apa gadis itu?, hingga air mata itu meluruh tanpa ijinnya, ternyata benar tidak semua rasa sakit mampu Ia tolerir rasanya, kali ini tidak ada lagi sisa kuat di dalam dirinya.

"Gak masalah kalau Kakak hidup dalam perasaan hancur, gak masalah Kakak bangun dengan keadaan gak baik-baik aja, gak masalah Kakak harus nangis untuk kurangin rasa sakitnya, gak masalah kalau Kakak mau teriak, gak masalah kalau Kakak mau marah sama keadaan, Kakak masih manusia, nangis bukan berarti kalah Kak. "

Hari ini, untuk pertama kalinya Kaffa melihat Kakaknya menangis di hadapannya, sebesar apa kehancuran itu Ia sembunyikan? Sedalam apa rasa sakitnya?, kenapa tangisan itu terlihat begitu pilu.

Pelukannya, bahkan isaknya tidak ada meninggalkan senang, tangisnya bercerita kepedihan, Ia terluka dengan keadaan, takdir yang selalu bercanda dengan Mereka.

"Gak melulu orang lain Kak, Kakak juga punya perasaan, hidup dengan apa yang Kakak mau, berhenti kalau capek Kak, pergi kalau rasanya Kakak gak kuat. "

Membuatnya mulai mengerti, jika satu-satunya yang harus Ia jaga bukan lagi perasaan orang lain, namun perasaannya sendiri, Becky mengorbankan banyak hal untuk siapapun, sampai lupa Ia masih manusia biasa yang masih akan merasakan semua hal bentuk emosi.

"Kak, "

"Kaf, janji sama Kakak, Kamu kuliah yang rajin, kalau Kamu pengen Kakak bahagia, Kamu harus jadi apa yang Kamu mau. "

"Kak, "

"Sampai Kamu lulus, Kakak akan ceritain semua rasa sakit ini setelahnya, "

"Janji?"

"Iya. "

Becky berharap, akan masih ada hari esok untuknya dan Kaffa, Ia ingin bercerita tentang beratnya menjadi dirinya selama ini, berbagi rasa sakit, menceritakan betapa kejamnya dunia, namun Ia menahannya untuk saat ini, Karena Becky tidak ingin membebani siapapun, Ia hanya ingin Kaffa tumbuh lebih baik, tanpa harus repot memikirkan perasaannya.

"Hubungi nomor ini ya Kaf, itu bos Kakak, yang bawa ke rumah sakit juga Dia, Kakak gak mau Dia khawatir. "

Kaffa mengangguk, satu-satunya orang di seberang panggilan itu terdengar panik dan marah, Becky terkekeh saat Kaffa memarahi lawan bicaranya, karena Ia tau bagaimana Freen dengan kesabarannya yang setipis kapas.

"Seharusnya Kakak resign aja kerjanya, bos Kakak gila, masa Aku udah jelasin Kakak sakit, Dia masih ngotot mau jemput. "

Gadis itu tersenyum dan menarik Kaffa si tukan emosi itu ke dalam peluknya, bagaimana Ia harus menjelaskan Freen kepada lelaki kecil itu, bagaimana pula Kaffa akan mengerti nantinya, biarlah seperti ini, adiknya tidak perlu tau siapa Freen sebenarnya, cukup hidup saling menutupi kenyataan, Ia hanya berharap, suatu saat Mereka bisa berdamai dengan semua ini, dan saling menertawakan bagaimana luka sempat menghancurkan, suatu saat nanti.

"Kau tidak perlu tau bagaimana hancurnya Kakakmu ini Kaf, Aku hanya ingin Kau hidup sama baiknya seperti saat Ibu masih ada bersama Kita. " Gumamnya.

 " Gumamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HEAL ME (Freenbecky)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang