(00)

284 4 0
                                    

Amara Diana Kim

"Kamu mau tau apa yang aku rasakan? aku bosan, Amara! Sungguh, aku sangat bosan dengan hubungan kita yang bahkan sampai saat ini aku tidak tahu arahnya akan kemana"

Aku masih terlalu muda saat itu untuk memahami kata-kata bosan yang sangat sulit aku artikan maksudnya. Apa yang salah denganku sehingga dia— laki-laki yang sangat aku sayangi dan aku banggakan tiba-tiba mengatakan hal tidak menyenangkan itu? bukankah kata bosan berarti hubungan kami akan kandas dan saat ini sedang berada diujung jurang?

"Berikan aku waktu, aku butuh sendiri. Aku juga memiliki kehidupan lain, Amara. Tidak semua hal dalam hidupku harus kamu ketahui. Aku juga perlu menjalani kehidupan yang tidak ada kamu didalamnya."

Jawaban terakhirnya saat aku bertanya "Jadi apa maumu? apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak bosan lagi kepadaku?" membuatku bingung harus membalas apa. Laki-laki itu tidak ingin diganggu dan tidak ingin melibatkan aku didalam hidupnya. Apakah aku sakit hati? tentu saja. Aku sakit hati, aku menangis semalaman hari itu sehingga mataku menjadi lengket dan sulit terbuka pada pagi harinya akibat sembab yang sangat parah.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak membalas pesan singkat itu. Membiarkannya tersimpan di WhatsApp hingga saat ini.

Laki-laki itu adalah Tizaga Arthur Pahlevi. Usianya saat itu masih tujuh belas tahun dan aku enam belas tahun. Kami menjalani hubungan selama satu tahun sembilan bulan saat bersekolah di salah satu SMA Swasta di kotaku. Keluarganya memanggilnya "Au". Panggilan lucu yang tidak boleh siapapun menggunakannya kecuali orang yang sedarah dengannya. Waktu itu aku sempat memanggilnya Au, dia bingung. Bingung mengapa aku bisa tahu panggilan itu.

"Bukankah sebelumnya kamu pernah cerita? Sepertinya kamu lupa" aku meyakinkannya.

Sejujurnya dia tidak pernah cerita, aku hanya sempat mendengar adik sepupunya memanggilnya dengan panggilan itu saat masih bersekolah dengannya. Dia menggeleng, memalingkan pandangannya dariku.

Saat itu dia sedang duduk disebelahku di pinggir lapangan sekolah, menekuk kakinya dan membuat lingkaran dengan tangannya. "Tidak, aku tidak pernah memberitahu siapapun tentang nama itu, aku kira kamu tidak mengetahuinya"

"Aku tahu, aku tahu panggilan itu, Arthur. Kamu tidak perlu sebingung itu hanya karena aku mengetahui panggilan masa kecilmu"

Dia mendengus, "Terserahmu, tapi jangan memanggilku dengan panggilan itu" Ujarnya sebal, ia berdiri menepuk belakang celananya guna membersihkan tanah dan dedaunan kering dirumput yang sudah ia duduki. "Aku akan pergi, kamu ikut?" sambungnya, menjulurkan tangannya kepadaku.

Aku menggeleng, "Tidak, aku masih betah disini, kamu saja yang pergi"
Ia mengangguk, melanjutkan langkahnya meninggalkanku. Aku menatap punggung tegasnya yang menghilang dibalik bangunan sekolah kami saat itu.

Laki-laki bermata coklat itu pergi meninggalkanku. Lagi.

"Kau sedang mendengarkan apa?" Suara Carly menarikku kembali ke dunia nyata. Saat ini aku sedang berada taman depan Gedung kampusku. Aku duduk disalah satu kursi kosong sendiri sambil mendengar music kesukaanku. "Hai?" aku menyapa Carly, dia teman terdekatku disini. Bukan karena dia sudah mengetahui seluruh rahasiaku, tapi karena dia teman satu kamarku.

Carly sedikit cerewet, dia cenderung lebih suka menggangguku untuk membangun interaksi denganku karena dia tau bahwa aku orang yang agak kaku dan pendiam.
"Mau ke kafetaria bersamaku?" Tanyanya. Ralat, kini dia sudah menarik lenganku tanpa persetujuanku.

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang