(06)

43 1 0
                                    

Amara Diana Kim

"I'm done with this game" ujarku, lalu keluar dari ruangan itu.

Tempat ini bukan untukku. Aku harus cepat keluar sebelum dikuasai oleh pengaruh alkohol sialan yang tidak sengaja aku teguk tadi. Langkahku gontai menginjak rumput basah yang menggelikan kakiku di depan halaman rumah itu.
Tunggu—
Aku menundukkan kepala, terlihat bahwa kakiku telanjang tanpa alas.

"Shit! kemana sepatuku?" tuturku seketika panik. Oh tuhan aku tidak ingin kembali ke tempat terkutuk itu.

Aku memutuskan melanjutkan langkahku, karena taksi panggilanku sudah datang. Semoga Carly membawa pulang sepatuku.

***

Cahaya matahari membangunkanku dari tidur. Aku lupa menutup tirai jendela kemarin. Aku mengerjap, menggosok mataku yang terasa lengket dan gatal. Semalam apa yang terjadi?
Ah, aku mengingat bagian meneguk alkohol, lalu mengikuti permainan terkutuk itu lantas pulang dan kembali ke asramaku. Padahal aku hanya meminum satu teguk alkohol— maksudku satu gelas dalam satu kali tegukan, tapi kepalaku sungguh pusing.
Sepertinya sup rumput laut yang biasa dibuat oleh ibuku ketika aku ulang tahun, akan sangat menyegarkan jika di makan saat pengar seperti ini.

Walaupun Ayahku keturunan Korea asli, dia tidak pernah memberiku izin untuk meminum alkohol mengingat budaya di negaranya bahwa alkohol hal yang lumrah dan sudah menjadi tradisi saat ada acara-acara dan kumpul-kumpul.

Karena efek sampingnya yang tidak sehat, dan aku anak kesayangannya satu-satunya, hal tersebut membuat kedua orang tuaku over protective. Namun aku tidak pernah mempermasalahkannya karena aku juga tidak terlalu menyukai rasanya.

"Carly, apakah kau membawa pulang sepatuku?"
Aku bertanya kepada Carly yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah mengingat bahwa semalam aku pulang dengan bertelanjang kaki. Dahinya mengkerut bingung, "Kau meninggalkan sepatu?"

Aku mengangguk, lalu Carly menggeleng.
"Aku tidak melihat sepatu. Memang kau meninggalkannya dimana?"

Nah, itu masalahnya. Aku juga lupa.
Itu heel pemberian ibuku ketika aku ulang tahun yang ke 23. Aku menghela nafas pasrah. Sepertinya harus merelakan sepatu kesayanganku.

Karena ini hari minggu dan masih pagi, aku memilih untuk olah raga, mencoba konsisten dengan ucapanku kemarin untuk hidup sehat.
Aku juga sedikit berharap bisa bertemu dengan Nathan. Namun disisi lain juga menolak melihatnya karena kejadian semalam saat aku mengintipnya bercinta dengan kekasihnya.

Tapi kali ini aku tidak beremu dengannya, dilanjutkan dengan hari senin, selasa, rabu dan kamis. Aku masih tidak bertemu dengannya.
Apakah pria itu tidak rutin berolah raga? tapi dari mana asal otot-ototnya? gym?

Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk menghilangkan pikiranku tentang pria itu.
Hari ini sudah jumat, seperti biasa aku kembali olah raga berlari mengintari jalan disekitar kampus.
Kakiku terhenti di sebuah cafe yang bernama Common Ground Cafe yang terletak tepat di depan Welington Square. Aku memesan sebuah Espresso seperti biasa. Belakangan ini aku selalu mampir ke cafe-cafe terdekat untuk sekedar memesan kopi. Sepertinya mengonsumsi kafein di pagi hari sedikit membangkitkan semangatku untuk beraktifitas.

Mataku menangkap pria yang sejak kemarin tidak pernah aku lihat. Nathan, pria itu sedang duduk membaca buku di kursi cafe yang lengang.

Dia belum melihatku dan aku tidak berniat menyapanya. Untuk apa? pertemuan kita juga sebentar dan dia juga sudah punya kekasih mengingat satu minggu yang lalu aku mengintipnya sedang bercinta dengan hebat bersama kekasihnya. Namun aku juga tidak tahu, dia memiliki daya tarik seperti magnet yang membuatku ingin terus melihatnya. Iya, hanya melihatnya saja karena pria itu dianugrahkan wajah yang tampan.

"Hei"
Nathan memanggilku sesaat sebelum aku keluar dari cafe, pria itu tersenyum kepadaku sehingga menimbulkan lekukan pada lesung pipinya.

Aku menoleh, melebarkan mataku seolah bertanya "Kenapa?"

"Sepertinya aku harus meluruskan sesuatu denganmu" Katanya, terdengar sedikit ragu di telingaku.
"Apa yang ingin kau luruskan, Nathan?"

Pria itu menarik nafasnya, "Apa kau melihat kejadian malam itu?" sambungnya.

Aku ingin melupakan kejadian itu, namun mendengar si pelaku yang bertanya, membuat adegan itu berputar kembali di otakku. Aku ingin menggeleng tapi gerak tubuhku mengkhianatiku. Aku mengangguk samar, seolah hal yang kulihat saat itu biasa saja. Dengan wajah setampan itu, tidak mungkin juga para wanita di sini mengabaikan Nathan. Pria itu tidak mungkin single.

"Dia bukan pacarku" Terangnya lagi membuat mataku terbelalak. Hubungan seperti apa yang dijalankan oleh pria ini sehingga wanita yang bercinta dengannya bukan kekasihnya? "Dia hanya temanku" Ia melanjutkan.

Aku masih tidak habis pikir, dan tidak tahu harus berkata apa. Dan— untuk apa dia memberitahuku? aku hanya kebetulan berada di tempat itu lalu dia datang untuk bercinta dan aku tidak sengaja melihatnya. Walaupun kami sempat berbicara sebelumnya, itu bukan sebuah alasan untuknya harus menjelaskan hubungan dengan wanita itu kepadaku. Kami bahkan tidak sedekat itu.

"Lalu, apa maksudmu memberi klarifikasi seperti itu kepadaku?"

Nathan terlihat bingung, ia menunduk lantas menggaruk pelipisnya canggung.

"Sebaiknya kita menjaga jarak" Putusku. Selain merasa tidak cocok untuk berteman dengannya, sebenarnya aku juga masih malu dan canggung, takut pria itu mengintrogasiku tentang kejadian malam itu. Aku yang seperti orang bodoh mendengar desahan mereka dari dalam kamar mandi.

Dia mengangkat wajahnya, mundur 3 langkah.
"Sudah" ujarnya, sedikit tersenyum.

"Bukan itu maksudku" aku ingin terkekeh, sedikit kesal tapi tingkahnya tidak bisa mengurungkan niatku untuk mengulum senyumku. Namun di detik berikutnya, aku menggeleng, sepertinya memang tidak boleh bergaul sembarangan di negara ini. Contoh nyata di depanku ini sangat menganggu pikiranku.

"Aku tahu maksudmu, Diana. Aku minta maaf. Tapi izinkan aku berteman denganmu. Aku ingin menjadi temanmu" Katanya penuh harap.
Tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di tempat itu, aku akhirnya mengangguk tanda setuju.

"Sepatumu tertinggal di kamar mandi kemarin"
Aku yang sudah melangkah menuju pintu mendadak berhenti. Canggung, aku ingin mengutuk diri sendiri. Kenapa aku bisa meninggalkan sepatu di kamar mandi? bukankah itu sudah jadi bukti nyata bahwa aku menonton kegiatannya malam itu?
Shit! aku meninggalkan barang bukti di tkp.

Aku membalik badan "Dari mana kau tahu itu sepatuku?" aku mengelak, tidak ingin mengakuinya walaupun itu sepatu kesayanganku. Rasa maluku lebih besar daripada rasa sayangku pada sepatu itu!

"Kau orang terakhir yang masuk kamar mandi sebelum aku melihat sepatu itu" Katanya dengan yakin.

Aku enggan mengaku, namun ingin mengambil sepatu itu. Disisi lain, aku juga malu. "Untukmu saja" Jawabku asal lalu meninggalkan pria itu sendirian.

Sejujurnya sejak awal aku sudah tertarik melihat Nathan. Itulah sebabnya beberapa hari ini aku sedikit berharap berpapasan dengannya saat olah raga walaupun kenyataannya malam itu aku melihat adegannya yang bercinta dengan seorang wanita. Hal itu tidak terlalu menggangguku. Namun saat dia menjelaskan wanita itu bukan kekasihnya, pandanganku terhadapnya sudah tidak sebaik kemarin. Tapi bukankah itu jadi lebih baik?

Aku menyimpulkan bahwa pria seperti Nathan bisa tidur dengan siapa saja mengingat partner sexnya kemarin bukanlah kekasihnya.
Sudahlah, dia memang tampan, tapi kelakuannya tidak setampan wajahnya.

***

Happy Reading

Wiyaala

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang