(18)

27 2 0
                                    

Nathaniel Green Turner

"Sejak tiga puluh menit yang lalu" kataku. Aku berusaha mengikis jarak dengannya, dan tak melepaskan tatapanku dari wajahnya. Menguncinya agar dia tidak menatap kearah lain.

Diana benar-benar terlihat mati kutu, wajahnya mendadak seputih bulan. Sebenarnya aku hanya bercanda saat bertanya tentang pertemuannya yang menyenangkan, karena aku tidak tahu siapa yang dia temui. Kaca mobil yang gelap itu membuatku tidak bisa menembus pandanganku perihal siapa yang duduk bersamanya di mobil tersebut.

Namun ekspresi Diana membuatku yakin bahwa dia baru saja menemui seseorang yang dia sembunyikan dariku mengingat beberapa jam yang lalu dia mengatakan bahwa tidak memiliki rencana apapun hari ini selain istirahat di asramanya.

Aku kembali mencarinya karena lipsticknya tertinggal dirumahku— maksudku, itu hanya sebuah alasan karena aku ingin bertemu dengannya lagi. Sebenarnya bisa saja aku mengembalikan lipstik ini besok saat bertemu di kampus, tapi tidak aku lakukan. Aku benar-benar merasa tidak bisa jauh darinya sekarang. Setelah kejadian tadi malam, saat ciuman panas itu terjadi, aku sudah memutuskan bahwa dia adalah milikku. Bagaimana bisa sebuah ciuman bisa terasa sangat manis dan menenangkan disaat yang bersamaan? Perasaanku saat melakukan ciuman dengannya sangat berbeda dibanding saat aku melakukannya dengan wanita lain. Itu ciuman kedua kami dan benar-benar sudah membuatku candu. Bibirnya selalu manis, sengaja aku lakukan dengan kasar malam itu karena aku sudah tidak mampu menahan gairahku yang sudah berjam-jam aku tekan hingga tidak bisa memejamkan mataku sedetikpun. Aku berteriak kegirangan dalam hati saat menemuinya di dapur malam itu dan dia juga tidak bisa tidur. Ide gilaku mengajaknya menonton film dengan rating delapan belas tahun plus itu berhasil membuatnya duduk dengan gelisah disebelahku.
Seandainya wanita itu tidak virgin, mungkin malam itu akan menjadi malam yang panjang.

Sisi lain yang membuatku tidak ingin jauh darinya adalah saat dia memelukku sambil menenangkanku, aku tidak bisa melupakannya. Sungguh, hal itu tidak pernah dilihat siapapun. Bahkan Nick sekalipun tidak pernah melihatku ketakutan dalam tidurku. Hanya Diana. Dia memelukku tanpa bertanya lebih jauh, berusaha menenagkanku, mengusap punggung dan rambutku berkali-kali hingga akhirnya nafasku mulai teratur lagi. Aku sengaja tidak membahasnya lebih lanjut saat sudah bangun dari tidurku. Aku bangun dua jam lebih awal darinya. Menatap wajahnya saat tidur merupakan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku pikir, dia akan meninggalkanku malam itu, tapi ternyata dia malah tertidur pulas disebelahku.

Perutnya sempat berbunyi saat aku menatap wajah tenangnya yang tertidur membuatku terkekeh, bagaimana bisa seorang bisa merasakan lapar didalam tidurnya? Itulah yang mmebuatku bergegas menyiapkan sarapan yang dirangkap sebagai makan siang untuknya.

"Jangan menatapku seperti itu, kau menakutiku" ucapnya bergetar mengambil langkah mundur,

"Selangkah lagi kau mundur, sepuluh langkah aku akan maju" tukasku membuatnya berhenti bergerak.

Jarak kami yang terlalu dekat membuat Diana harus mendongakkan kepalanya kepadaku, "Kenapa?" tanyaku, dia menggeleng. Dia menggigit bibir bawahnya, wajahnya terlihat sangat panik dan ketakutan.

"Aku tidak akan memakanmu, jangan melihatku seperti itu" ujarku seraya mengangkat tanganku untuk mengusap bahunya.
"Kenapa kau tidak membalas dan mengangkat semua panggilanku?" tanyaku akhirnya.

"Uh? umm..." dia memalingkah wajahnya dariku, "Akuu—" Dia terlihat berpikir, mencari alasan yang harus terdengar masuk akal "Ponselku ku mati"

Bodoh.

Aku memperlihatkannya ponselku yang panggilan masuk darinya belum dia matikan, "Lalu ini apa?"

"Maksudkuu— akuu... menyalakan mode silent" cicitnya pelan, menunduk.

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang