(07)

34 2 0
                                    

Amara Diana Kim

"Aku menemukan sepatumu didepan pintu" ucap Carly saat aku baru saja memasuki kamar asrama. Alisku mengerut, sepertinya Nathan yang mengirimkannya. Tapi dari mana dia tahu kamar asramaku?

Aku merebahkan tubuhku, mengambil boneka bear coklat yang sering aku peluk saat tidur. Disini tidak ada bantal guling, aku sedikit kesulitan tidur saat pertama kali datang.

"Apakah ada nama pengirimnya?" Tanyaku memastikan, Carly menggeleng "Aku hanya melihatnya didepan dan langsung mengenali bahwa ini milikmu"

Aku menghembuskan nafas gusar. Nathan. Wajah pria itu terus mengisi kepalaku, dia sudah berhasil menarik perhatianku namun kejadian saat aku melihatnya bersama wanita lain merusak mood ku.

"Selain memperbaiki moodmu, apalagi tugasku, Ra?" Kata Arthur waktu itu. Dia sedang menilik wajahku yang sedang cemberut kearahnya, memperhatikan ekspresiku yang seperti rollercoster sejak beberapa jam yang lalu. Aku sedang datang bulan dan segala topik pembahasannya terus menyinggung perasaanku. "Aku ga bermaksud buat mood kamu rusak, aku cuma ngomong apa adanya, Ra. Aku ga hubungi kamu karena aku emang lagi banyak pikiran" lanjutnya.

"Iya kamu banyak pikiran, tapi ga mesti ngatain aku beban juga kan, Thur?"

Arthur menipiskan bibirnya, "Iya maaf, aku salah ngomong, kamu bukan beban. Aku hanya takut salah bertindak dan lebih menyakitimu dari ini, jika terus menghubungimu saat aku banyak pikiran" Ujarnya mencoba meyakinkanku. Aku masih sebal melihatnya, aku masih tidak ingin memaafkannya karena beberapa waktu yang lalu dia menyebutkan bahwa menghubungi wanita adalah sebuah beban untuknya. Seandainya aku sadar waktu itu bahwa kalimatnya merupakan potongan puzzle yang jika di satukan akan menjadi sebuah petunjuk bahwa perasaannya sudah berubah. Dia bukan Arthur yang aku kenal dulu. Aku menyayanginya tapi dia bertahan karena aku menyayanginya, bukan karena dia menyayangiku.

"Carly, apakah kau mengenal Nathan?"
Aku bertanya kepada Carly yang sedang fokus pada laptopnya.

Wanita itu terlihat sedikit berfikir, "Nathaniel Turner?" Ulangnya melengkapi.

Aku mengangguk kearahnya, "Tentu saja, aku sangat mengenalnya. Dia satu jurusan denganmu, Anna. Nathan sangat cerdas. Dia menyelesaikan Strata satu di tempat ini, dan beberapa tahun pergi ke London lalu kembali melanjutkan Strata dua dengan beasiswa prestasi. Apakah kau tidak pernah membaca jurnal-jurnal yang sudah banyak dia terbitkan? Mungkin kau pernah menjadikan jurnalnya sebagai salah satu refrensi saat mengerjakan essay mengingat jurusan kalian sama atau mungkin kau tidak menyadarinya"
Carly menjelaskankanku tanpa memalingkan wajahnya dari laptopnya.

Aku sedikit tertegun mendengarnya,
"Namun, jangan dekat-dekat dengannya, Anna, Selain cerdas, dia juga terkenal manipulatif dan suka bermain wanita, dia akan menjebakmu agar bisa masuk kedalam perangkapnya." Kata Carly.

"Imagenya lumayan buruk dan dia sudah berkali-kali kena pukulan karena merebut kekasih temannya. Entah itu benar atau tidak, tapi itulah faktanya. Targetnya biasanya mahasiswa angkatan dibawahnya" Lanjutnya menjelaskan.

"Aku sarankan kepadamu untuk tidak berteman dengannya" sambung Carly, kini dia menghadap kearahku. "Sebenarnya dia temanku, tapi aku tidak menyarankanmu untuk ikut berteman dengannya"

Aku hanya mengangguk paham, sepertinya citra Nathan memang buruk apalagi sampai Carly- temannya sendiri yang melarangku.

"Kenapa? kenapa kau bertanya tentangnya?"
Kini giliran dia yang penasaran,
"Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya, dia terlihat menarik"  Jelasku jujur.
Carly menggeleng tidak setuju, "No! jangan tertarik dengan pria brengsek itu. Aku juga tahu bahwa dia tampan dan cerdas, tapi lebih baik jangan. Atau dia akan merusak hidup yg sudah kau tata rapi itu."

Aku menatap nanar langit-langit kamar asramaku. Siapa juga yang ingin mendekatinya? aku hanya sedikit penasaran tentangnya. Nathan memang terlihat menarik, apalagi setelah mengetahui bahwa pria itu memiliki segudang prestasi membuat jiwaku ingin lebih mengenalnya. Sayang sekali, seandainya kelakuannya tidak seburuk itu, mungkin aku akan mencoba berteman dengannya. Terlebih lagi mengingat beberapa saat yang lalu, pria itu mencoba memberikan klarifikasi kepadaku tentang kejadian malam itu, namun apa maksudnya?

"Maksudmu kita akan LDR?" Tanyaku kepada Arthur saat itu. Dia menjelaskan kepadaku bahwa di kenaikan kelas nanti akan pindah sekolah ke Bali. Aku sudah terlanjur nyaman dengannya, bagaimana mungkin aku bisa berpisah dengannya? Akhirnya aku bisa mengetahui maksud banyak pikiran yang pernah dia ucapkan kepadaku. Dia bingung menentukan pilihannya, apakah akan mengikuti keinginan orang tuanya atau mengikuti keinginannya sendiri.

"Aku tidak setuju berpisah denganmu, Arthur" tuturku menggeleng lemah, air mataku rasanya akan menetes saat ini. "Kenapa kamu tidak menyewa kost aja disini? kamu juga masih memiliki keluarga disini" Aku mencoba mencarikan opsi agar laki-laki tujuh belas tahun itu tidak meninggalkanku.

"Tidak bisa, Amara." Dia menolak, aku memiliki firasat yang kurang baik tentang hal ini.

"Arthur, aku sangat mencintaimu. Sungguh! Jangan tinggalkan aku" Kali ini aku benar-benar memohon. Tidak rela dia meninggalkanku begitu saja mengingat selama ini kami bertemu setiap hari dan menghabiskan waktu bersama.

"Apakah kamu sudah tidak mencintaiku?" tanyaku lirih,
"Kalau kamu merasakan aku masih mencintaimu, berarti aku masih cinta"

Bukan, bukan jawaban seperti itu yang aku inginkan. Bukan jawaban seperti itu yang aku ingin dengar. Saat itu bulan ke sebelas kami bersama, aku tidak ingin dia pergi dariku. Siapa yang akan menaruh bunga mawar di kolong mejaku setiap pagi jika dia pergi?
Siapa yang akan membelikanku coklat disaat aku sudah gemetar karena kelaparan saat menunggu jemputan di sekolah?
Hanya Arthur, tidak ada yang mengerti mauku, tidak ada yang tau apa inginku selain Arthur.
He is the one and only.

Dering ponselku membangunkanku, sepertinya aku sedikit kelelahan sehingga tertidur entah sejak kapan yang pasti sebelum itu aku hanya mengingat Carly melarangku bergaul dengan Nathan.

'Apakah kau sudah menerima sepatumu?'

Membaca pesannya saja sudah membuatku tahu siapa pengirimnya. Darimana pria itu mendapatkan nomorku?

'Terimakasih'

Balasku singkat, menunggu di roomchat apakah dia akan membalas pesanku lagi?

'Mau keluar bersamaku besok?'

Balasannya membuatku menautkan alisku, apakah aku target dia selanjutnya saat ini seperti yang di ceritakan Carly tadi?
Aku sedikit penasaran dengan cara bermain pria ini. Walaupun aku tidak terlalu berpengalaman dalam sebuah hubungan, namun aku sudah memegang  sedikit informasi tentangnya. Apa aku terima saja ajakannya?

'apakah kau suka kucing?'
dia mengirim pesan lagi, padahal aku masih mengetik balasan untuk pesan yang sebelumnya.

'Iya, aku suka kucing'

'Mau pergi melihat kucing?'

'Dimana?'

Pria ini sedikit aneh, namun aku juga penasaran dengan triknya menjalankan aksinya saat menginginkan seseorang.

'Rumahku'

Balasnya yang membuat aku teringat salah satu Drama yang pernah aku tonton. Dialog yang melekat di kepalaku hingga saat ini pada drama itu "Ingin melihat kupu-kupu dirumahku?"

Aku sedikit terkekeh. Caranya sangat pasaran. Pergi melihat kucing? ayolahh, kucing banyak berkeliaran dijalanan.
Namun aku masih penasaran, walaupun aku introvert, aku juga suka tantangan dan mencari tahu sesuatu yang membuat aku penasaran.

'Baiklah, kau bisa menjemputku di asrama jam 1 siang besok'

Send.

***
HAPPY READING

Wiyaala

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang