(24)

19 2 0
                                    

Diana

Aku dan Arthur berjalan melewati pintu masuk museum yang megah. Suasana tenang dan hening museum menciptakan kontras dengan kebingungan emosional yang ada di dalam hatiku. Karya seni yang mengelilingi kami memancarkan keindahan, namun juga membangkitkan kenangan masa lalu yang aku coba untuk lupakan.

Kami berhenti di depan lukisan-lukisan yang mengingatkan kami akan masa lalu. Aku memandangi salah satu lukisan dengan senyum tipis di wajahku. "Kamu masih ingat saat pertama kali kita melihat lukisan seperti ini?" tanyaku kepada Arthur. Itu adalah lukisan yang mirip dengan yang Arthur miliki dirumahnya. Ayah Arthur adalah orang yang suka seni, selalu membeli lukisan-lukisan yang dianggap menarik lalu dipajang dirumahnya. Aku sering melihat beberapa lukisan itu saat sering kerumah Arthur dulu. Kenangan itu terasa seperti beberapa hari yang lalu, meskipun sebenarnya sudah bertahun-tahun yang silam.

Mataku terus menyisir segala lukisan dan barang-barang kuno di Museum ini. Aku suka dan ini sangat menarik. Sejak tadi aku memperhatikan tangan Arthur yang maju mundur ingin menggandeng tanganku namun aku selalu pura-pura menunjuk sesuatu atau menggerakkan tanganku agar Arthur tak bisa meraihnya.

"Apakah kamu sudah tidak membenciku, Ra?" tanya Arthur didepan sebuah kerangka Dinosaurus. Aku menyipitkan mataku menghadap kearahnya lalu tersenyum kemudian lantas menggeleng.
"Memangnya aku membencimi? sejak kapan?" tanyaku.

"Umm, aku kira kamu membenciku karena kamu tidak pernah mau membalas pesan dan telponku lagi setelah perdebatan kita di cafe waktu itu"

"Tidak, Arthur. Mungkin saat itu aku sedikit shock karena bertemu denganmu lagi setelah sekian lama. Fakta aku berada ditempat ini sejujurnya karena aku menghindarimu dan ingin melupakanmu."

"Kamu belum melupakanku?" Arthur menghentikan langkahnya, berdiri didepanku.

"Umm, itu beberapa bulan lalu, Arthur"

"Aku senang" Katanya, matanya berbinar, "Aku senang kamu belum melupakanku, Ra" jelasnya lagi.
Aku hanya mengangguk, tersenyum canggung. Mengungkapkan hal-hal seperti ini sudah tidak berat lagi untukku. Aku suka mengatakan kejujuran itu, karena faktanya memang seperti utu. Aku masih sering mengenang Arthur hingga beberapa bulan yang lalu.

Selama perjalanan kami di museum, aku merasa seperti kita tengah menemukan lagi apa yang hilang dalam hidup kami. Kami berbagi cerita dan kenangan, tertawa mengingat saat-saat manis yang pernah kami lewati. Hubungan kami semakin menguat, meskipun dalam hatiku, aku merasa seperti seorang yang berjalan di atas kawat tipis.

Arthur berbicara dengan lembut, "Ra, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang selama ini, dan sekarang aku merasa seperti aku mendapatkannya kembali."

Aku tersenyum. "Aku juga merasakannya, Arthur. Mungkin ini pertanda baik."

"Aku suka pertemuan tidak terduga kita ditempat ini, Ra."

Aku tertawa, "Takdir memang lucu ya, Thur. Padahal aku menghindarimu hingga ke tempat ini. Tapi malah dipertemukan seperti ini"

Arthur hanya tertawa menanggapiku, semuanya terasa lucu. Perpisahan kami dimasa lalu sudah tidak terasa menyakitkan lagi untuk diingat. Arthur yang sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Kamu berdua menyimpulkan bahwa saat itu hanya masih labil, dan tidak bisa mengambil keputusan yang tepat.

Ketika kami berjalan bersama di sepanjang lorong museum, pertimbangan dalam hatiku semakin memuncak. Aku berpikir tentang Nathan, tentang perasaanku padanya, dan tentang cinta yang semakin dalam. Bagaimana aku bisa membagi hatiku antara dua pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku?
Aku menimbang-nimbang apakah harus membicarakan ini dengan Arthur. Tapi aku harus. Hal ini tidak bisa aku simpan terus menerus, aku harus berterus terang agar semuanya clear tanpa kesalah pahaman.

"Arthur," ujarku perlahan, "Aku merasa begitu bingung sekarang. Kamu tahu kan aku sedang memiliki hubungan dengan seseorang?" Tanyaku ragu.
Arthur mengangguk,
"tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku merasa nyaman didekatmu."

Arthur tidak bisa menjawabku, dia terlihat berperang dengan isi kepalanya. Alisnya mengerut selama perjalanan terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Aku sengaja memberitahunya keadaan sebenarnya lebih awal. agar dia mengerti kondisi yang sebenarnya. Walaupun hubunganku dengan Nathan tidak jelas, Aku tidak bisa mengabaikannya.

"Mau mampir ke cafe dulu gak?" tanya Arthur setelah lama terdiam.
Waktu masih sore dan aku akhirnya mengangguk menyetujui gagasannya.

Mobil Arthur menembus jalanan padat di Oxford.
Selama perjalanan kami kembali dari museum, konflik emosional mulai muncul. Kami duduk di sebuah kafe yang tenang, menatap satu sama lain dengan perasaan campur aduk. Aku tahu bahwa perasaanku padanya masih kuat, meskipun aku menyukai Nathan.

Arthur mencoba memecah keheningan. "Amara, apa yang harus kita lakukan dengan perasaan ini? Aku tidak biasa di posisi ini. Aku memang ingin memperbaiki segalanya dan ingin bersamamu kembali, tapi keadaan ini sedikit tabu untukku."

Aku menggeleng, dadaku terasa begitu penuh dan mendadak sesak. "Aku benar-benar tidak tahu, Arthur. Ini semua begitu rumit."

Arthur mengangkat tangannya, menyentuh tanganku dengan lembut. "Aku tahu aku sudah menyakiti hatimu di masa lalu, dan aku merasa sangat bersalah atas itu." lirihnya, "Aku ingin memperbaiki semuanya sekarang, tidak bisakah kamu memberiku kesempatan, Ra? Aku masih mencintaimu"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku juga merasa bersalah karena masih memiliki perasaan terhadapmu, padahal aku memiliki hubungan dengan Nathan."

"Hubungan seperti apa yang kalian miliki?"

"Semuanya rumit, Arthur. Aku tidak memiliki hubungan yang jelas dengan Nathan tapi aku tahu bahwa kami memiliki keterikatan yang kuat."

"Lalu bagaimana denganku, apakah kamu mengizinkanku untuk terus maju? Aku rasa kamu dan Nathan masih abu-abu dan aku memiliki peluang untuk masuk di dalamnya. Kamu bisa saja berubah pikiran, Ra"
Aku menatap Arthur dengan serius, tekatnya benar-benar tidak luntur. Dia tetap bersikeras walaupun aku sudah menjelaskan bahwa ada Nathan juga di hubungan ini.

Pada akhirnya, setelah berjam-jam berbicara dan merenungkan keadaan, aku harus membuat keputusan yang sulit. Aku duduk dengan Arthur, senyuman lembut di wajahku. "Arthur, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku pikir kita perlu memberikan peluang kedua pada diri kita sendiri untuk berpikir masalah ini. Kamu memang prang penting untukku, Nathan juga tidak kalah penting. Silahkan lanjutkan seperti yang kamu katakan tadi,"

Arthur mengangguk, senyum melintas di wajahnya "Baiklah, aku akan membuatmu berubah pikiran dan kembali menerimaku, Ra"

Ketika aku kembali ke asrama, aku menerima sebuah pesan dari Nathan. Nathan memintaku bertemu sore tadi saat aku masih bersama Arthur, tapi aku menolaknya dan memberi opsi lain untuk bertemu malam ini. Aku sudah memberikan penjelasan tentang perasaanku kepada Arthur dan aku juga harus berbicara terbuka dengan Nathan tentang hubungan kami yang belum jelas.

Dengan keputusanku, aku memulai babak baru dalam perjalanan hidupku, di mana perasaan cintaku terhadap dua pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku harus dikelola dengan bijak dan penuh pengertian. Semoga aku bisa menemukan jalan yang benar dan mengatasi konflik yang ada dalam hatiku.


Kalau kalian bingung, kenapa selama ini percakapan Diana dan Arthur selalu pakai "Aku-Kamu" sedangkan percakapannya dengan yang lain seperti Nathan, Carly, Ben, dll selalu pakai "Aku-Kau", Itu karena saat bersama Arthur, Diana berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun masih tetap baku, aku membedakannya dengan cara itu agar tidak terlalu kaku. Dan untuk percakapannya dengan teman-temannya di Oxford, Diana pake "Aku-Kau" karena aku menganggap mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris disana. Jadi sudah clear ya, jangan bingung lagi. Terimakasih ^^
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
HAPPY READING.

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang