(01)

101 3 0
                                    


Amara Diana Kim

Aku meruntuk dalam hati. Apa yang pria itu lakukan? Apakah tidak ada kerjaan lain selain mengganggu orang yang sedang fokus membaca? Dia merusak moodku. Aku tidak suka dipuji pria asing.

Tapi tidak bisa aku pungkiri, ini pertama kalinya aku melihat pria dengan wajah semenarik itu.
Oke, aku akui dia tampan, tapi tidak harus menggangguku di perpustakaan juga kan? Dan apa yang dia katakana tadi? Mataku cantik? Oh Tuhan. Seandainya dia mengajakku berkenalan lebih dulu lalu memujiku, mungkin aku akan tersipu malu. Tapi pria ini tidak mengikuti step itu. Dia langsung ke step ke dua, dan melupakan step pertama. Seharusnya berkenalan dulu!

Aku lembali membasuh wajahku, dan melihat pantulanku di cermin. Saat ini aku sudah berada di dalam kamar mandi dormku.

"Aku sudah lama memperhatikanmu, Amara. Apakah kamu masih belum mau menjadi kekasihku?" Arthur terlihat gelisah saat itu dengan pertanyaannya, ini sudah pertanyaannya yang ketiga kali sejak aku menolaknya dua minggu yang lalu, dan sebulan yang lalu? Mungkin. Iya, dia mengungkapkan perasaannya hampir setiap minggu.

Aku masih belum tertarik untuk menerima perasaannya karena merasa ini terlalu cepat. Kami bahkan baru sebulan memasuki sekolah menengah atas ini. Saat itu aku baru berusia lima belas tahun, dan remaja bermata coklat itu mengungkapkan perasaannya seminggu setelah aku menginjakkan kakiku di sekolah itu.

"Kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku bahkan belum tau siapa nama lengkapmu!" ketusku kepadanya. Lama-lama dia terlihat menyebalkan dimataku, dia masih memohon, meminta agar perasaannya aku terima.

"Jangan sekarang, Arthur" ujarku pelan, meninggalkannya di depan gerbang sekolah karena jemputanku sudah datang.

"Hey, kau melamun lagi" ucapan Carly menyadarkanku, ternyata aku sudah duduk di meja belajarku saat ini. Dan kapan Carly datang? Aku tidak mendengar suaranya membuka pintu saat masuk. Aku hanya tersenyum kaku kearahnya, melanjutkan membaca buku yang sudah aku pinjam diperpustakaan tadi untuk menyelesaikan tugas essayku.

Honestly, selama enam bulan ditempat ini, aku sangat jarang berinteraksi dengan seseorang selain Carly. Apalagi dengan pria asing seperti kejadian di perpustakaan tadi.

Aku meraup wajahku, melihat pantulanku di cermin kecil meja belajarku, memperhatikan mataku yang sempat di puji pria asing tadi. Tidak, mataku tidak seindah itu untuk dipuji dan diperhatikan selama tiga menit. Aku mendengus pelan, mengembalikan konsentrasiku.

"Hey, dude! What the fuck is wrong with you?!"

Suara teriakan itu membuatku menoleh kearah jendela. Dibawah sana terlihat seorang pria yang sedang memberikan pukulan kepada pria di depannya. Karena jaraknya yang sedikit jauh mengingat kamar asramaku berada dilantai tiga, aku tidak bisa memperhatikan jelas siapa yang sedang berkelahi di bawah sana.

Sudahlah, aku tidak peduli. Sejak menginjakkan kaki ditempat ini, aku sudah memantapkan niatku untuk tidak terlibat dengan hal-hal yang dapat memperlambat kelulusanku. Aku hanya akan fokus pada kuliahku, dan setelah itu langsung kembali ke Indonesia. Itu rencanaku awalku.
Setidaknya saat itu. Iya, saat itu.

***

"Siapa mereka? Mengapa berkelahi seperti itu?"
"Aw, itu pasti menyakitkan"
"Yang berbaju biru itu terlihat tampan"
"Oh tuhan, yang pakai baju hitam itu seperti tidak asing,"

Tidak, itu bukan suaraku. Itu suara Carly. Sepertinya dia menikmati tontonannya, menginterupsiku yang sedang berusaha fokus dengan tugasku.

"Mari kita lihat, siapa yang akan menang" ujarnya antusias, "Tapi apa yang membuat mereka bergelut seperti itu? Apakah mereka sedang memperebutkan Wanita?"

TRAPPED IN THE PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang