Ada yang salah dengan Neverland. Musim dingin tidak pernah berlangsung begitu lama, terlebih ketika Peter Pan ada. Tetapi, salju tak berhenti turun, lautan membeku, matahari enggan bersinar. Padahal Peter Pan ada di sana. Segalanya bahkan belum terjawab ketika Wendy mendengar "Tinkerbell sudah mati."
***
Malam itu, si gadis pendongeng menopang dagu di tubir jendela kamarnya yang senantiasa terbuka. Kerap kali orang-orang menemuinya tengah memandang ke langit. Nyonya Darling yang sebetulnya tahu penyebabnya, hanya bisa menjawab pertanyaan orang-orang dengan: putriku sedang memasuki masa remaja–suka melamun.
Tak satu pun dari mereka memahami apa yang tengah Wendy Darling lakukan, kecuali kedua adiknya yang kini turut beranjak besar; John dan Michael.
Mereka tahu kakak perempuan mereka masih mengharapkan kedatangan bocah lelaki itu.
"Wendy?" Nyonya Darling memanggil putrinya.
Wendy menoleh. "Ya, Ibu?"
Kemudan, penuh keserta-mertaan Tuan Darling menyembul dari balik tubuh istrinya. "Selamat ulang tahun, Sayang!" lalu sebuah kotak berpita tersuguh dari kedua tangannya. John dan Michael turut ribut di belakang ayah mereka.
Kedua mata hijau Wendy membelalak lebar. "Wah?" Ia tertawa. "Terima kasih!"
Keluarga Darling lantas berkumpul di tengah kamar, mendesak Wendy yang genap berusia 14 tahun itu untuk membuka kotak hadiah. Tanpa gegabah, gadis anggun itu membukanya. Ia termenung, sedikit pudar senyum di rentang bibirnya.
Sebuah buku polos bersampul kulit dengan ukiran halus mengilap pada bagian depannya yang bertuliskan: Peter Pan.
"Sejujurnya, kami—ayah dan ibumu—tidak tahu menahu siapa Peter Pan itu. Tetapi, kedua adikmu mendesak, dan bersikeras meyakinkan bahwa kau akan sangat senang jika dihadiahi sesuatu yang menyangkutpautkan nama itu."
Wendy mengukir tangannya pada guratan nama bocah lelaki yang ia tunggu-tunggu. Senyumnya perlahan-lahan kembali terlukis pahit. "Terima kasih." Wendy kemudian memandang kedua orang tua dan kedua adik laki-lakinya. "Aku ... benar-benar menyukai ini."
John dan Michael saling pandang dan melolongkan seruan ala Indian dengan menepuk-nepuk telapak tangan ke bibir mereka.
Tuan Darling menoleh penuh kejut, kemudian kembali menatap putrinya yang tengah berulang tahun itu. "Wendy, Sayangku. Sebenarnya siapakah anak yang bernama Peter Pan itu?"
Wendy hanya menatap ayahnya tersenyum, tanpa menjawab sepatah kata pun.
Tiba-tiba bel rumah mereka berbunyi.
Tuan Darling segera menyadari waktu yang ada. Jarum arloji pada pergelangan tangannya bergerak menuju angka delapan. "Sudah waktunya. Anak-anak, ayah harus berangkat. Barangkali malam ini aku perlu menginap, tak lama, hanya sampai esok sore."
"Aku mau mobil mainan!"
"Bawakan aku makanan yang banyak!"
Pekik Michael dan John yang tahu benar sepulang kerja, ayahnya pasti membawa banyak uang.
"Ya, ya, ya. Ayah berangkat." Pria berkacamata itu kemudian mengecup pipi Nyonya Darling dan mengepak kopernya untuk kemudian beranjak dan pergi meninggalkan rumah beserta istrinya yang turut mengantar sampai pintu.
Wendy, John, dan Michael kembali bertiga dalam kamar.
"Aku mulai dewasa," ujar Wendy membuka suaranya. "Sepertinya kita perlu pisah kamar."
"Yaah!" Michael mengeluh.
John menoyor kepala adiknya, "Kau juga akan beranjak tua, Bodoh."
"Tapi, aku mau dongeng-dongeng yang Wendy ceritakan setiap malam!"
"Dia sudah memberi kita buku-buku. Bacalah!"
Michael si bungsu memberengut.
Wendy hanya tersenyum. "Dan ... mungkin aku harus melupakan Peter bersama segala hal di Neverland."
Kini John dan Michael terdiam. "Hidup harus terus berjalan, Wendy. Inilah kenyataan."
Wendy tertawa dan menepuk kepala John dengan buku tulis besarnya yang baru.
Malam itu, Wendy benar-benar mengemas barang-barangnya dari kamar John dan Michael. Ia harus pindah ke ruangan baru yang telah ayahnya rombak menjadi sebuah kamar. Sebelumnya, itu adalah ruang baca yang jarang terpakai, karena rak-rak buku besar lebih banyak diletakkan di ruang tengah. Namun, tentu saja Wendy menyetujuinya, sebab ruangan itu memiliki jendela.
Hampir tengah malam, kediaman Nyonya Darling telah gelap gulita, menyisakan pelita yang hanya bersinar pada pintu muka saja. Selesai merapikan kamar barunya, Wendy terduduk di tengah ranjang dengan kaki menyentuh ubin kayu. Seraya menatap jendela yang terbuka, ia bersuara, "Hari ini usiaku 14 tahun. Aku telah menyamai usiamu, Peter. Malam ini kubukakan jendela kamarku hanya untukmu. Setelah dua tahun menunggu, kuputuskan. Malam ini adalah kesempatan terakhir bagimu menemuiku kembali, dan jika kau tidak ingin ...." Wendy menghela napas. "Maka, selamat tinggal, dan terima kasih. Karena kita takkan bertemu lagi."
Wendy menahan air mata yang hendak melinangi pipinya. Mata kehijauan gadis itu lantas memejamkan diri, menelan kembali kerinduan yang tak terpenuhi. Ia kemudian berbaring dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Wendy Darling kemudian tertidur.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/289325394-288-k197958.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland: Tales of The Eight Pawns
FantasyTidak semua kisah berjalan sederhana di Dunia Dongeng. Demi akhir bahagia selama-lamanya, aral dan bukit terjal perlu ditempuh. Terlebih ketika Sang Ratu dari negeri bawah tanah Wonderland memanggil delapan nama untuk dijadikan patung pion di halama...