Cinderella menapaki hutan.
Tadi malam hujan. Air menciptakan genangan dan tanah basah yang meninggalkan jejak Cinderella kala ia kembali berjalan tanpa tujuan. Tidak. Ia memiliki tujuan, ia akan menemui ibu tirinya untuk menuntut kembali hak hidupnya. Tetapi ... bagaimana jika ia yang lemah dan tak bersenjata hanya berakhir tewas di tangan penyihir itu?
Istana. Charming. Ya, benar. Jika Cinderella ke istana, pangeran pasti akan segera mengenali Cinderella, meski dalam wujud yang tak ia inginkan. Cinta tak memandang bagaimana manusia tampak di muka, tetapi apa yang tersembunyi di hatinya. Bukankah begitu?
"Ah!" Kaki Cinderella terjermbap ke lumpur dalam. Bagaimana bisa? Ia memijak di tanah yang sama, tetapi mengapa lumpur di kaki kanannya lebih dalam?!
Cinderella berusaha menariknya keluar, tetapi ia justru mendapatkan tungkai kanannya tenggelam lebih dalam hingga menutupi betis. Gadis itu terbeliak. Lumpur ini menghisap kakinya. Oh, tidak. Ini lumpur hisap. Seseorang harus menariknya keluar.
"Char—!" Cinderella mendadak bungkam. Ia lupa laki-laki itu tak lagi bersamanya.
Jika begitu, ia harus berjuang sendiri.
Kaki Cinderella kian tertarik ke dalam lumpur. Gadis itu panik. Ia mencari-cari sulur yang menggantung di pohon.
Gadis itu hampir mengumpat. Belum juga matahari menampakkan dirinya, hutan ini sudah berulah saja. "Ah!" Kaki Cindrella tertarik lebih dalam lagi. "Hentikan, lumpur jelek!" Mulai penuh gelagap Cinderella mencari-cari keberadan sulur menggantung di sekitarnya.
Itu dia.
Cinderella buru-buru meraih sulur rambat dan menarik dirinya keluar.
Erangan susah payah lolos dari mulutnya. Cinderella berusaha keras melepaskan kaki kanannya dari lumpur penghisap. Erangan lain Cinderella lontarkan, kini tubuhnya berhasil tertarik menjauh, dan kaki kanannya keluar sedikit demi sedikit.
Dua sampai tiga kali tarikan keras, Cinderella akhirnya bisa mengeluarkan seluruh kaki kanannya dari lumpur itu. Ia bersyukur tubuh mayat hidupnya tak seringkih yang ia kira. Jika sampai ia kehilangan kakinya, ia tak tahu apakah harapan masih sudi menghampirinya.
Cinderella kembali berjalan, meski agak terseok oleh sebab gumpalan lumpur yang memberatkan kaki kanannya.
Tak ia kira berkelana sendirian akan sesulit ini. Ia butuh ... teman.
***
Charming berakhir tak menemukan apa pun selain hewan buruan untuk ia santap sebelum terlelap di bawah salah satu pohon rindang hanya untuk menemui pagi yang tak lengkap; tak ada pujaan hatinya.
Pangeran itu kembali menyampirkan perlengkapan pada tempatnya. Mengenakan tudung yang kini ternoda tanah dan debu hutan, dan memulai pencarian selanjutnya.
Demi menghilangkan penat, ia memilih untuk berangkat pagi buta, agar bisa berkuda ke tepian hutan di mana sungai bermuara. Naiknya matahari pasti akan menenteramkan perasaannya, dan biar bagaimanapun, cahaya selalulah memberi harapan.
Ia berhasil mencapai bibir sungai. Pria itu berjongkok. Mengisi ulang air minumnya dan memandang cakrawala. Garis-garis mega melukis diri di permulaan langit. Charming tersenyum. Awan kebiruan bekas malam mengingatkan dirinya akan gaun Cinderella di istana. Gadis itu benar-benar cantik.
Tak ingin menghabiskan waktu terlalu lama, Charming bangkit pada akhirnya, kembali menunggangi kuda setelah—tunggu dulu—ia melihat kejanggalan. Ia menemukan ceruk tak lazim pada bibir sungai. Tanah yang mencuat dan bekas-bekas jejak kaki yang mulai samar.
Seseorang belum lama berpijak di sini.
"Cinderella." Semangatnya tumbuh. Sebelum lenyap, ia memacu kudanya untuk segera mencari jejak kaki lainnya, dan ke mana kaki mungil itu mengarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland: Tales of The Eight Pawns
FantasyTidak semua kisah berjalan sederhana di Dunia Dongeng. Demi akhir bahagia selama-lamanya, aral dan bukit terjal perlu ditempuh. Terlebih ketika Sang Ratu dari negeri bawah tanah Wonderland memanggil delapan nama untuk dijadikan patung pion di halama...