Part 2

9.9K 342 2
                                    

Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya.

"Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala.

"Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya.

"Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya.

"Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan.

"Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut.

Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada Ariana. Ariana tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Apa gak bosan? Kalo aku baca yang begituan yang ada malah ngantuk." Ucapnya seraya mengambil satu potong mendoan yang sudah agak dingin dan mencelupkannya ke dalam sambal kecap seraya duduk di sisi kosong bale-bale yang diduduki sang ayah.

"Ayah perlu yang begini buat motivasi." Jawab ayahnya dan meletakkan buku ke atas meja, tepat di samping piring berisi mendoan dan mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya pelan. "Ayah gak ganggu kesibukan kakak kan?" Tanya pria awal paruh baya itu setelah meletakkan gelas kopinya.

"Ngapain ada anak buah kalau semua harus bos yang urusin." Kilah Ariana dengan senyum di wajahnya. Ayahnya turut tersenyum dan menganggukkan kepala. "Ada apa Ayah panggil kakak kesini?" Tanya Ariana ingin tahu. Meskipun dalam hati ia sudah bisa menebaknya.

"Karenina datang ke tempat kerja ayah." Ucap ayahnya, membenarkan apa yang ada dalam pikiran Ariana. "Dia minta ayah membuat surat pernyataan kalau ayah tidak bisa menjadi walinya saat pernikahannya nanti."

"Ayah menyanggupinya?" Tanya Ariana dengan nada datarnya.

"Ayah bisa apa?" Ayahnya balik bertanya. "Baik Karenina ataupun mama kamu tidak mau ayah ada di pernikahannya. Yang bisa ayah lakukan untuk membahagiakan mereka hanya ini." Ucap ayahnya dengan nada sedih yang meskipun samar masih bisa Ariana dengar. "Tapi ayah gak kecewa, masih ada kakak yang nanti akan ayah walikan saat nikah. Dan masih ada Dira."

"Hanya ada Dira." Ucap Ariana lirih. "Aku gak ada niatan buat nikah. Gak setelah semua drama pernikahan yang sudah aku lihat."

"Kak.." Ayahnya memandang Ariana dengan tatapan sedih.

"Ini udah jadi pilihan aku, Yah." Ucap Ariana tak mau diganggu gugat.

Menikah? Jelas kata itu tidak pernah terselip dalam benak Ariana. Bukan semata-mata karena tidak mau mengulang kisah yang sama atau mengalami sesuatu yang dramatis dan mengalami sakit hati akibat berharap pada seseorang yang disebut pasangan. Namun Ariana tidak yakin kalau dirinya masih memiliki waktu untuk bisa menikmati hidup dalam waktu yang lama.

Ia tidak yakin bisa hidup berbahagia bersama seseorang dan menyatakan padanya kalau ia akan menemani pria itu dalam susah dan senangnya karena yang ada justru pria itulah yang akan selalu menemaninya dalam keadaan terpuruknya.

Dan Ariana tidak mau menumbalkan seseorang hanya demi masa singkat hidupnya yang akan berakhir entah kapan.

Mobil yang Ariana kemudikan berhenti tepat di seberang sebuah istana megah berlantai dua bercat putih. Pintu gerbang setinggi empat meter yang biasanya terkunci rapat kini terbuka lebar, menunjukkan lalu-lalang orang-orang yang tengah sibuk menyiapkan dekorasi untuk pernikahan saudara kembarnya esok hari.

Mempelai Pengganti Tuan Zeroun (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang