Secarik kertas warna

4 1 0
                                    

Seperti apa yang diucapkan Marcel kemarin, kini Sasa sedang Bersiap untuk tampil dalam acara kesenian di lapangan. Marcel menghampiri Sasa dengan sebotol air mineral di tangannya.

“Nih minum.” Titah Marcel seraya memberikan botol air mineral itu pada Sasa.

“Dari siapa?” Tanya Sasa.

“Gue lah.” Sasa hanya menganggukan kepalanya lalu meminum air yang diberikan Marcel kemudian selang beberapa menit Sasa di persilahkan untuk membacakan puisi di depan seluruh siswa sekolahnya di lapangan. Riuh tepuk tangan menghiasi seisi lapangan setelah Sasa membacakan puisinya, bahkan ada yang tak henti-hentinya memuji bakat Sasa tak lain dan tak bukan adalah Marcel. Aneh memang entah untuk apa ia berada di barisan para guru bersama siswa-siswi yang akan tampil padahal posisinya saat ini bukan lagi sebagai ketua osis melainkan mantan ketua osis.

“Keren.. keren.. keren. Gue akui lo keren banget Clarisa!” Puji Marcel sambil bertepuk tangan.

“Pusing gue dengerin lo bilang itu terus.” Cibir Sasa.

“Biasanya kalau orang di puji tuh seneng ya, biasanya.” Ucap Marcel menekankan akhir kata kalimat yang ia lontarkan.

“Jadi menurut lo gue bukan orang gitu?” Tuduh Sasa.

“Bukan gue yang bilang. Tapi kalau lo ngaku Syukur sih.”

“Sialan lo.”

Setelah acara di lapangan selesai Sasa kembali ke dalam kelasnya sendirian, tapi sesampainya di dalam kelas Sasa melihat ada secarik kertas berwarna kuning tertempel di mejanya. Ia pun mengambil kertas tersebut lalu membacanya.

|“Memperhatikanmu di tengah keramaian adalah kesenangan yang selalu aku lakukan.” (P.A)

Sasa tersenyum tipis melihat inisial yang tertera di bawah tulisan tersebut lalu ia memasukan kertas ke dalam selipan buku catatannya. Sasa membuka lembaran buku Latihan soal SBMPTN seketika ia teringat ketika Praz membantunya dalam memahami soal yang tidak di mengerti. Tak lama kemudian Praz menghampiri Sasa yang masih sibuk dengan buku tebal dihadapannya.

“Hari-hari belajar.” Ucap Praz seraya duduk disamping Sasa sambil menopang dagu dengan satu tangannya.

“Eh.” Sasa sedikit terkejut melihat keberadaan Praz di sampingnya. Ia mengambil secarik kertas yang ditemukannya tadi lalu menunjukannya pada Praz.

“Ini lo yang buat?” Tanya Sasa.

“Iya. Kenapa?”

“Manis.”

“Apanya?”

“Kata-katanya.”

“Tapi ada yang lebih manis dari itu sa.”

“Apa?”

“Kamu.” Praz menyunggingkan senyumnya. Seketika Praz tertawa karena melihat pipi Sasa yang memerah.

“HAHAHA kamu bisa baper juga?”

“PRAAAAAZZZ!” Ucap Sasa sedikit berteriak seraya menutup wajahnya dengan buku.

“Mana? Mana? Sini aku liat lagi.” Praz menggoda Sasa sambil berusaha melepaskan buku yang masih menutupi wajahnya.

“Nggak mau. Mendingan lo pergiii!” Bukannya menuruti perkataan Sasa, Praz masih berusaha meraih buku tersebut. Dengan cepat Sasa memukul Praz dengan buku yang menutupi wajahnya.

“Sialan lo ya! Pergi! Pergi! Pergi!”

“Tuh kan masih merah.” Balas Praz sambil tertawa kecil.

“Sumpah ya. Lo kenapa sih?”

“Nggak apa-apa. Aku mau liat yang manis-manis biar gula darah di tubuh aku tetap normal.”

PRAZ-SA (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang