Andara, berdiri tegak namun tegang di ambang pintu, memperhatikan sosok polisi yang mulai mendekat, menapakkan kakinya ke depan dengan wibawa yang sulit digambarkan. Bukan cuma seragamnya yang nyaris tampak sempit memeluk setiap lekukan ototnya, tapi juga cara dia berdiri, memancarkan otoritas tanpa perlu bicara banyak.
Dinda, berdiri di samping polisi kekar itu, memutuskan untuk menegaskan posisinya. Menunjuk ke arah Andara, ia berkata, "Om Ario, kata tante, Bang Dewo sudah selesai belajar bareng Rama dan pergi. Tapi saya sudah cari kemana-mana dan teleponnya juga tidak aktif." Raut wajah Dinda berubah, dari penasaran menjadi cemas.
Saat mata Andara dan Ario saling bertemu, kedua sosok ini seolah terpaku.
"Andara...?" ujar Ario, suaranya lebih lembut daripada yang pernah Andara dengar dari seorang polisi. "Lama sekali kita tidak bertemu. Sepertinya waktu tak pernah cukup untuk meredam kenangan lama."
Andara, berdiri di ambang pintu, merasakan denyut nadi yang memacu kepalanya saat melihat Ario. Seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan kenangan berkelebat di benaknya—hari-hari di mana segalanya tampak lebih sederhana.
"A..Ario!?" kata Andara, suaranya mengandung campuran rasa heran dan nostalgia, "Kamu benar. Sudah lama sekali. Seperti melihat hantu dari masa lalu."
Di saat itulah, Andara menangkap sesuatu dari raut wajah Dinda, yang berdiri dengan tidak sabar di samping Ario.
Sebuah kesadaran mendadak menimpanya. Ario adalah ayah Dewo.
'Pantas saja aku merasa ada yang familiar waktu ngeliat Dewo,' pikir Andara.
"Ah, tapi hantu biasanya menakutkan, Andara. Saya berharap saya bukan bagian dari kenangan buruk Anda," Ario membalas, matanya berbinar seolah menanyakan lebih dari apa yang diucapkannya.
Andara memulai, berusaha mempertahankan komposur dan senyumnya yang kian memudar. "Entah mengapa, sepertinya kita selalu ditakdirkan bertemu dalam keadaan yang... tidak ideal."
Dinda, yang merasa seperti ornamen tak berguna dalam perbincangan penuh emosi ini, akhirnya berkata, "Om Ario, bolehkah kita masuk? Saya khawatir sama Bang Dewo."
Seakan terbangun dari lamunannya, Ario menoleh ke Dinda, lalu kembali pada Andara. "Ya, bolehkah kita masuk?"
Andara, sebentar berpikir. Sebagai polisi, Ario seharusnya nggak bisa masuk begitu saja tanpa surat geledah atau izin. Tapi, di sisi lain, jika dia membuat hal ini jadi rumit, bisa-bisa dia malah dicurigai. Akhirnya, dengan napas yang dihembus pelan, dia memutuskan, "Tentu, silakan masuk."
Waktu Andara membuka pintu lebih lebar, napasnya terhenti sejenak, seolah mencoba menangkap oksigen dari udara yang tiba-tiba terasa lebih berat. Ia berdoa dalam hati bahwa Rama dan Dewo sudah berlindung di tempat yang aman. Untungnya, tidak ada tanda-tanda mereka berdua di dekat pintu depan.
Dengan hati-hati, ia mempersilakan Ario dan Dinda masuk. Andara merasa tekanan memompa di dada dan kepala, seolah dunianya bisa runtuh hanya dengan satu kata atau satu langkah yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENTIL DEWO
RomanceSebuah kelemahan, sebuah obsesi, dan sebuah hubungan yang tak terduga. Rama, seorang remaja gay cerdas dengan fetish yang spesifik-tubuh berotot-mengincar Dewo, remaja macho dan berotot. Tapi ada satu rahasia yang Dewo simpan, sebuah kelemahan yang...