8 Anjrit! Gede Banget!

7.9K 120 10
                                    

Dekapan sinar matahari yang temaram memenuhi ruang kamar, membuai suasana dengan aura romantis. Dalam semuanya itu, Rama menatap Dewo, tubuh indahnya basah oleh keringat yang membuat setiap definisi ototnya menjadi lebih nyata.

"Ram, tolong lepaskan ikatannya," suara Dewo berdesis lemah.

Menggeleng pelan, Rama menjawab, "Tunggu dulu, Bang. Aku mau pastikan efektivitas terapinya." Kata-katanya meresap penuh pengertian dan empati.

Setelah beberapa detik pertimbangan, dia mengangguk, memberi Rama izin untuk melanjutkan.

Dengan hati-hati, Rama mendekatkan tangannya ke dada Dewo. Dewo menggigit bibir bawahnya, berusaha mendorong rasa yang meluap-luap setiap kali Rama mendekat. 

Saat jari Rama hampir menyentuh putingnya, tubuh Dewo seolah menggeliat dan bergoyang. Otot-ototnya berkerut, punggungnya membungkuk dan lengan besarnya menegang .

Dewo memerah, kepalanya tertunduk, "Ma-maaf, Ram," katanya, suaranya lembut dan bergetar, "Aku nggak bisa kendaliin diriku."

Tapi Rama, tersenyum sekaligus meneruskan eksplorasinya. Kali ini lebih lambat, lebih lembut. Dewo merasakan sensasi yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Perlahan Rama memainkan puting Dewo, merasakan denyut dan tarikan lembut dari jari-jarinya. Sensasi yang Dewo rasakan bagaikan duri yang menyentuh kulit, namun tidak menyakitkan. Otot dada Dewo montok dan keras, menonjol di bawah kulitnya yang halus, seakan ingin menciptakan relief sendiri. 

Setiap sentuhan Rama terhadap puting Dewo seolah sebuah simfoni, sebuah melodi yang membawanya ke dunia lain. Dewo mencoba mengontrol diri, meskipun perasaannya begitu liar. Otot-ototnya berkontraksi, dan dia merasakan getaran di seluruh tubuhnya.

Rama menoleh ke Dewo, matanya mencari jawaban. "Gimana rasanya, Bang?"

Dewo mencoba untuk tetap fokus, menahan semua sensasi yang menggulung-gulung dalam dirinya, sementara Rama terus memainkan simfoninya, menari dalam ritme hati Dewo.

Dewo menarik nafas, mencoba mengumpulkan kata-kata, "Se...seperti ada ledakan di dada abang, Ram. Kayak a..abang mau meletus." Suara Dewo bergetar, namun ada kepastian di dalamnya. 

Keringat bercucuran mengalir di dahi Dewo dan membasahi punggungnya yang lebar, menciptakan kilauan pada otot-otot besar yang tampak melalui kulitnya yang berwarna kecoklatan. Perut Dewo naik dan turun dengan cepat, menciptakan desakan yang ritmis dengan tarikan nafasnya yang berat.

"Tuh, kan terapinya berhasil, Bang." Rama tersenyum, secercah kebanggaan menari di mata hitam kecokelatannya.  "Lihat aja, padahal tadi sebelum terapi kalo pentilnya aku pilin-pilin gini ngomong aja nggak sanggup lho."

Dewo hanya bisa mengangguk, tiupan nafasnya seolah menjadi melodramatis di ruangan itu, bergema dalam keheningan yang hampir menyelimuti. Hati Dewo bergemuruh, detak jantungnya seakan ingin memecah ranjang yang menopang tubuh berototnya. "Iya...iya, Ram..." katanya, suaranya lemas seakan tercekat di tenggorokannya. "Makasih ya, Ram."

Rasa geli melanda Dewo hingga ke batang kontolnya yang mengeras, merasa ingin melepaskan diri dari penjara kolor hitam yang tampak seperti dililit oleh ular piton raksasa. Kontolnya mengeras, mengisi seluruh ruang dalam kolornya, menekan kain hingga tampak seperti hendak merobeknya.

Tanpa peringatan, jari Rama mencubit puting Dewo. Seakan tersentak oleh arus listrik, reaksi otot Dewo instan. Tubuhnya berguncang, matanya menutup rapat, mimik wajahnya berubah, seolah dia mengubah dirinya menjadi seseorang yang tidak dia kenali: sepertinya seorang gigolo murahan yang terjerat dalam kenikmatan yang tak terlukiskan.

Ledakan panas yang merobek seluruh tubuh Dewo membuatnya merasa seakan hancur menjadi sejuta partikel. Dunia gelap menyeret Dewo masuk lebih dalam, membelah kegelapan yang misterius, mengantarkan Dewo ke suatu titik tak terbayangkan. Suatu titik di mana Dewo bukan lagi Dewo, melainkan sekedar penumpang yang sebentar lagi akan larut dalam lamunan panjang.

PENTIL DEWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang