Prolog

19 1 0
                                    


Di mana kaus kaki itu? Aldi sibuk mencari ke sana kemari, berjalan ke sana kemari mengelilingi kamarnya yang kecil. Tak kunjung menemukannya, Aldi pun terdiam dan matanya terpecam. Ia menjelajahi pikirannya dan mengaduk-aduk isinya, berharap menemukan sesuati yang tersembunyi dalam benaknya. Itu dia! Ia teringat akan sebuah kotak jauh di dalam lemari, tersembunyi di balik pakaian rumah. Aldi pun menemukannya, lima pasang kaus kaki berwarna putih bersih. Rancak bana! Ini dia kaus kaki andalan, pikirnya tersenyum. Ia pun memasukkannya ke dalam tasnya.

Terakhir, Aldi mengeluarkan sebuah seragam dari dalam lemari dan meletakkannya di atas kasur. Seragam biru itu tampak terlipat dengan rapi setelah dicuci dan disetrika. Brevet Hiu Kencana berwarna emas menghiasi di dada kiri, berwujud dua hiu mengapit satu kapal selam. Brevet emas itu tersemir dengan rapi, tampak mengilap tanpa debu di atasnya. Dengan bangga Aldi memandangi namanya di seragam itu, Letkol Aldi Chaniago. Seragam itu adalah miliknya seorang.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat tiga puluh. Aldi pun masuk ke dalam kamar mandi. Tak perlu waktu lama baginya untuk mandi, hanya diperlukan waktu dua menit semua selesai dan bersih. Setelah itu ia mengenakan seragam dan melaksanakan ritual paginya, sholat shubuh di tengah udara pagi yang sejuk.

Setelah merapikan sajadahnya, sebuah suara terdengar dari lantai bawah, "Aldi, sudah selesai belum?"

"Sudah, Bu! Nanti aku ke sana!" jawabnya melongok dari daun pintu. Terakhir, ia menengok ke sebuah foto di meja. "Yang, Aku pergi dulu," katanya dengan lembut sambil mengangkut tasnya. Ia lalu mengunci kamar dan turun ke lantai bawah.

Di bawah, sudah disiapkan sarapan pagi saat itu. Tersedia rendang, gulai dan balado belut di meja. Memang dasar Ibu ahlinya masak, pikir Aldi. Pada mulanya, ia tak berniat makan dan langsung berangkat. Namun, setelah menyaksikan hidangan yang tersedia, air liurnya seketika itu pula menetes. Tak ada pilihan lain, ia duduk dan mengambil nasi dengan porsi ekstra, ditambah dua potong rendang, kuah gulai dan dua potong balado belut.

"Nikmat sekali," komentar Aldi sambil melahap potongan belut. Rasa sambal beradu di dalam mulutnya. Renyahnya kulit dan lembutnya daging belut membuat lidahnya menari-nari kesenangan. Nafsu makannya pun bertambah dan ia pun menambah lagi. "Omong-omong, di mana Ali?" lanjutnya.

"Sudah bagun dari tadi," jawab Ibu, "semalaman dia perbaiki motormu."

"Di mana dia sekarang?" tanya Aldi khawatir.

"Tenang saja Bang, aku di sini," jawab Ali yang muncul dari balik garasi. Penampilannya berantakan dengan rambut acak-acakan. Melihat hidangan, Ali pun mencuci tangannya dan turut serta duduk di meja makan.

"Berapa semuanya?" tanya Aldi.

"Untung Abang gratis," jawab Ali sambil melahap potongan rendang.

Aldi menyanggah, "Ayolah, mana ada bisnis bengkel gratis? Berapa semuanya?"

"Sebenarnya dua juta, mengingat ada suku cadang yang harus diganti. Di samping itu juga harus di-tune up sedikit. Tapi untuk Abang ..."

"Oke, satu koma delapan kutransfer langsung," potong Aldi sambil tersenyum.

Ali terkekeh, "Makasih, Bang."

"Berapa lama patroli kali ini?" tanya Ibu khawatir.

"Paling sekitar sebulan, patroli rutin di Samudra Hindia," kata Aldi. Rutin berarti membosankan, tapi patroli membosankan menandakan bahwa negeri ini aman-aman saja. Tidak seperti sepuluh tahun yang lalu.

"Hati-hati, ya," pesan Ibunya khawatir.

"Sudah pasti," kata Aldi sambil mengacungkan jempol. Mengapa Ibu khawatir? Tidak biasanya ibunya seperti ini.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang