Bab 7

3 1 0
                                    

Di dalam mobil, Zhang Wenli duduk dengan santai. Seperti biasa, ia sedang menikmati pemandangan kota Beijing di kursi belakang. Lampu-lampu gemerlap kota yang gemilang tidak mampu membuatnya terpukau. Boleh jadi Beijing sudah berisikan gedung-gedung pencakar langit berlampu warna-warni. Namun, dalam hatinya ia adalah seorang Maois, pengikut Mao Zedong yang setia. Mao mengajarkan kesederhanaan dalam segi apapun, mulai dari rumah hingga urusan kantor. Semua ajarannya tertuang di dalam sebuah buku tua yang dimiliki Wenli. Meskipun begitu Mao juga memiliki kelemahan, pikirnya. Kelemahan itu juga dimiliki para pejabat semenjak masa kekaisaran. Kelemahan itulah yang membuat Tiongkok selalu dipermalukan, diolok-olok seakan tak punya harga diri.

Jumawa adalah kelemahan itu. Merasa sudah hebat sehingga tidak perlu lagi belajar hal-hal baru. Padahal, dulu armada Cheng Ho pernah menjelajahi tujuh samudra. Penjelajahannya itu membawa Tiongkok bertemu dengan peradaban di Asia Tenggara. Namanya pun masyhur dan sudah sepatutnya diabadikan sebagai dewa penjaga lautan. Bukan hanya itu, penemuan-penemuan ilmiah, mulai dari kompas sampai mesin cetak juga dihasilkan negaranya. Kalau tidak ada kertas, mungkin seluruh dunia masih pakai prasasti batu untuk menulis.

Sayang sekali kesombongan menghancurkan negerinya, pikir Wenli menggeleng-geleng dengan penuh rasa jijik. Semenjak Cheng Ho, nyaris tak ada lagi laksamana-laksamana tangguh di lautan. Dulu pernah ada, bukan dari kalangan militer tapi seorang bajak laut. Dia adalah seorang perompak wanita bernama Cheng I Sao. Aksinya membuat Dinasti Qing pusing tujuh keliling. Setiap kali hendak ditumpas, ia berhasil lolos dan bertambah kuat. Akhirnya pemerintahan Qing melakukan hal yang sangat memalukan, meminta bantuan Portugis untuk mengaramkan Cheng I Sao selamanya. Namun, aliansi itu berhasil dipecundangi armada bajak laut ketika I Sao berhasil lolos dari penyergapan. Bayangkan, dua kerajaan berhasil dikadali oleh bajak laut perempuan! Seakan belum puas, I Sao akhirnya menjarah kota demi kota. Akhirnya Dinasti Qing harus bertekuk lutut di hadapan Cheng I Sao, sang Ratu Bajak Laut.

Anehnya, Qing tidak belajar! Seharusnya pejabat Kota Terlarang sadar diri. Jangan harap melawan bangsa kulit putih, melawan bajak laut saja kalah telak. Hasilnya sudah bisa ditebak ketika Perang Opium. Hong Kong yang merupakan benteng pertahanan laut Tiongkok takluk dihantam meriam Inggris. Tidak hanya itu, ketiadaan angkatan laut yang mandiri juga harus membuat Tiongkok rela dikuasai, dirampok dan dianiaya oleh Jepang ketika Perang Dunia II dulu. Di masa modern pun sekali lagi negeri Tirai Bambu harus bertekuk lutut. Kali ini mereka harus mengakui keunggulan negara ASEAN sepuluh tahun yang lalu. Bendera merah harus diturunkan dan diganti dengan bendera ikat rumput. Lebih memalukan lagi, nama Laut Cina Selatan diganti oleh negara-negara petani itu menjadi Laut Tenggara. Tingkah mereka seakan menampar negerinya dengan telak.

Mobil yang ditumpangi Wenli bergerak lurus melewati Kota Terlarang dan akhirnya berhenti di sebuah gerbang. Gerbang itu dijaga ketat oleh empat orang berseragam dan bersenjata lengkap. Sang supir menurunkan kaca jendela, begitu juga dengan Wenli yang duduk di belakang. Prajurit yang bertugas membungkuk dan menengok ke dalam. Menyadari keberadaan Wenli, si prajurit langsung memberi hormat dengan sikap sangat sempurna. Lalu pintu gerbang dibuka dan mobil pun bergerak ke dalam.

Zhang Wenli membaca huruf kanji yang ada di gerbang. Semboyan "Hidup Partai Komunis" dan "Hidup Pemikiran Mao Zedong" menyambutnya. Meskipun tidak ada yang menyaksikan, pria itu merapikan posisi duduknya. Ia juga tidak lupa merapikan setelan yang dikenakannya.

Wenli sudah memasuki kawasan Zhongnanhai, kompleks pemerintahan Tiongkok. Di kumpulan bangunan yang tidak begitu menyolok inilah nasib negara ditentukan. Setiap anggota Politbiro bertemu di sini dua tahun sekali. Sejarah Zhongnanhai pun juga tidak kalah dengan Kota Terlarang yang menjadi tetangganya. Kompleks sederhana ini dulunya dipilih oleh pemerintahan Republik sementara Kaisar Puyi mendiami Kota Terlarang. Lalu, setelah perang saudara tahun 1949 petinggi partai, termasuk Mao Zedong mendiami kompleks ini.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang