Bab 5

4 1 0
                                    

Pada atlas maupun peta dunia, Dangkalan Sunda terlihat datar-datar saja. Namun, sebenarnya ada banyak lembah dan bukit di sana, tersembunyi bawah laut. Pada Zaman Es, Dangkalan Sunda dulunya adalah dataran rendah, menyatukan Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Dangkalan itu timbul akibat terjadinya penyusutan muka air laut pada Zaman Es, sekitar 20.000 tahun yang lalu. Lalu, 10.000 tahun yang lalu, terjadilah perubahan iklim besar-besaran. Sudah tentu hal ini membuat lapisan es pada bagian bumi utara meleleh. Efeknya adalah es yang mencair mengalir dan membanjiri laut selatan. Akibatnya, dataran rendah tadi terendam oleh laut. Kini laut itu disebut dengan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna Utara. Pengetahuan topografi inilah yang dimanfaatkan Letkol Aldi sebagai kapten kapal selam.

Aldi kemudian kembali memperhatikan peta holografis di ruang komando. Arjuna sudah berenang di kedalaman 30 meter selama tiga jam. Sebentar lagi Arjuna akan memasuki kawasan lubuk timur Dangkalan Sunda. Lembah itu dulunya adalah tempat aliran sungai purba yang berhulu di Pulau Belitung. Berdasarkan peta topografi miliknya, kedalaman lembah bisa mencapai 75 meter. Bagus, pikir Aldi tersenyum bahagia. Artinya, Arjuna bisa mengebut menuju Natuna dengan lebih aman.

Tiba-tiba Aldi teringat dengan pesan radio yang diterimanya tadi. Kode merah di Natuna? Apa maksudnya? Lebih-lebih lagi perintah itu datang langsung dari Palangkaraya. Seketika itu juga instingnya menyala bagaikan kilatan ledakan bom. Ia mengingat kode merah yang sama ketika ia dulu menjadi juru torpedo di KRI Keris. Saat itu ia tidak tahu perihal kode merah karena mengingat baru saja ditunjuk jadi perwira. Meskipun begitu, ia tak pernah lupa wajah Pak Karso sepuluh tahun yang lalu. Pesan itu diterima sejam setelah insiden tenggelamnya Usman Harun. Sepuluh tahun kemudian, pesan yang sama diterima Aldi.

Tiba-tiba perut Aldi serasa seperti diganjal, seakan ada bola besi di dalamnya. Darahnya serasa membeku. Kulitnya serasa ditiup angin dingin Kutub Selatan, meskipun ia berada di dalam ruang komando yang panasnya bukan main. Kedua matanya menelusuri jalur perjalanannya menuju Natuna. Jalurnya sudah benar, tidak ada masalah. Ia sudah memilih jalur yang paling efisien untuk perjalanan jauhnya. Tapi, tetap saja, bayang-bayang KRI Usman Harun yang patah menjadi dua di berita daring membuatnya mulas. Beberapa wajah kawan sejawatnya yang tidak pulang mulai bermunculan dalam pikirannya yang kelam. Satu wajah kemudian muncul dalam benaknya. Ia terlihat damai seperti orang tidur. Orang Tiongkok sialan! Mereka masih ingin ....

"Dan, ada apa? Kok keringatan begitu?" tanya Alia.

Aldi terlompat dari lamunannya, "Cuma sedikit capek, kok. Jangan kuatir, kamu sendiri?"

"Tidak ada masalah," Alia menggeleng.

Arloji di tangan Aldi berbunyi. Alarm berbunyi tepat pada pukul setengah lima pagi. Saat ini Arjuna sudah sampai di lubuk timur. Di kedalaman ini, Aldi bisa tancap gas, mengebut menuju Natuna. "Tono! Tancap gas! Tambah kecepatan menjadi ..."

"Pit, Sonar! Kontak! Sierra 1 baringan 2-7-5, Sierra 2 baringan 1-6-2. Rekomendasi turunkan kecepatan 5 knot," seru sang juru sonar Letnan Yoga Sinurat.

Baruak, umpat Aldi dalam hati. "Tono! Kecepatan 5 knot!"

Baling-baling tujuh bilah yang sejak tadi berputar kencang kini berputar perlahan. Daya dorong pun turun menjadi hanya lima knot, tidak lebih cepat dari orang yang berjalan kaki. Kapal selam tangguh itu kini merayap bagai bekicot raksasa di bawah air. Tak ada pilihan lain bagi Letkol Aldi selain menuruti saran dari sonar. Kecepatan tinggi memang berguna bagi Arjuna ketika sedang berenang di bawah air, tapi berakibat pada derasnya aliran air di sekitar lambungnya. Suara aliran itu terdengar oleh sistem sonar yang amat sensitif. Ibarat seseorang hendak mendengarkan konser musik klasik di sekitar deru mesin jet, sudah pasti dia akan tuli. Saat ini Aldi hanya bisa menuruti saran Letnan Yoga di stasiun sonar. Pria itu tampak sedang membimbing seorang wanita di depan layar sonar. Biarkan mereka bekerja dulu, pikir Aldi.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang