Bab 21

4 1 0
                                    

Kolonel Hanying sedang bercukur di kamar mandi Shuimu. Ia menarik gagang pisau cukur dengan hati-hati, mengingat ia menggunakan pisau cukur lurus. Memang berbahaya, tapi ia menyukai hasilnya yang jauh lebih halus daripada pisau cukur biasa. Satu demi satu sapuan dilakukan, merapikan dagunya yang kelabu. Kebiasaan bercukur setiap dua hari sekali ini memang sudah dilakukan sejak masa latihan dulu di akademi. Maklumlah, regulasi AL Tiongkok mewajibkan hal itu. Lagipula, siapa yang tidak suka bercukur apalagi di pagi hari ini. Rutinitas membosankan itulah yang mampu menyerap segala energi dirinya. Mulai dari isu sederhana sampai dengan yang rumit.

Hanying kemudian mencuci mukanya. Ia lalu menatap ke cermin di kamar mandi, mendapati seorang pria paruh baya di sana. Mungkin sekitar nyaris empat puluh tahun dengan rambut yang sedikit mulai memutih. Empat puluh tidak seharusnya memiliki rambut yang mulai putih, ditambah lagi dengan keriput di wajah. Ia kembali membasuh wajahnya, kali ini dengan sabun tanpa deterjen untuk membersihkan bekas pisau cukur tadi. Ia lalu mengenakan seragamnya dan sebelum pergi, ia melihat sebuah foto di loketnya.

Yun tersenyum manis dan cantik dengan seragam militer yang dikenakannya. Ia melemparkan senyum yang tak akan pernah lagi didapat Hanying. Semua itu lenyap sepuluh tahun yang lalu, ketika Shandong dikaramkan. Saat itu barulah dia paham rasanya kehilangan orang terdekat. Bagaimana rasanya tidur sendirian di ranjang yang dingin. Bagaimana rasanya memandangi pakaian tergantung bebas di dalam lemari tanpa sang pemilik. Dalam hati, setiap malam ia berharap Yun akan kembali. Mungkin ia akan mengetuk pintu apartemen dan memeluk dirinya saat itu juga. Namun, secara akal sehat hal itu sama sekali tidak mungkin.

Tangan Hanying mengeras dan mengepal. Negara petani miskin sialan! Apa susahnya mereka menurut? Hanya tinggal ikuti instruksi semua beres. Terlebih lagi intelijen Indonesia sudah ikut campur. Dengan beraninya mereka beberkan operasi kita di Vietnam! Di dalam sidang umum PBB lagi. Operasi itu adalah pembebasan ladang minyak di Paracel, masih di dalam wilayah Tiongkok. Pikiran Hanying mulai kalut, kedua matanya mulai memanas dan amarah menguasai dirinya dan dia benar-benar butuh pelampiasan.

"Komandan Hanying," suara Ranbing terdengar di interkom.

Hanying mengambil interkom dengan kasar, "Ada apa?"

"Segera ke ruang kontrol. Sebentar lagi kita tiba di percabangan arus."

"Baik, aku segera ke sana," kata Hanying sambil meletakkan interkom.

Hanying segera keluar dan pergi ke ruang kontrol. Di sana ada Ranbing dengan Juru Mudi sedang berdiskusi. Sudah pasti perihal untuk memilih percabangan arus. Satu ke arah barat, satu lagi ke arah timur. Sudah sejak kemarin keduanya berdebat dan perdebatan mereka tampaknya tidak bisa dihentikan. Namun, tidak untuk kali ini.

"Kita ke timur," kata Hanying. "Kalau ke arah barat kita akan terjebak pada tanjakan haloklin," katanya sambil merujuk pada garis haloklin.

"Tapi, komandan, di sisi barat lebih banyak ruang untuk bersembunyi dari sapuan sonar aktif," sanggah Ranbing.

"Memang benar, tapi lihat kondisinya seperti itu. Kapal selam ini baru dan ini adalah pelayaran pertamanya. Aku tidak mau kapal selam ini terhempas ke permukaan begitu saja. Kita ke timur."

"Tapi ..."

Suara Hanying meninggi, "Tidak ada tapi! Kita ke timur."

"Baik, Kapten."

"Juru Mudi! Kemudi cikar kiri! Nyalakan sistem pendorong samping. Arah baru 1-4-5."

Tim kemudi Shuimu lalu memutar setir ke kiri. Arus laut mengalir mulus di sekujur tubuh Shuimu dan terhalang oleh kemudi vertikal. Lalu aliran air diputar 37 derajat ke arah kanan olehnya. Akibatnya kapal pun berbelok ke kanan. Untuk menambah daya dorong, Shuimu menyalakan baling-baling kecil yang ada di sisi buritan kapal. Meskipun baling-baling ini diputar langsung oleh tenaga reaktor nuklir, tapi tetap saja butuh waktu untuk baling-baling kecil itu untuk menggerakkan tubuh Shuimu yang besar.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang