Disiplin suara, itulah yang terpikir Letkol Aldi ketika mengamati peta timbul holografis Helen Shoal di ruang perwira. Boleh jadi teknologi kapal selam semakin senyap. Namun, jangan lupa juga dengan teknologi deteksi kapal selam. Keduanya berlomba-lomba untuk mendahului satu sama lain. Ketika teknologi kapal selam semakin canggih, begitu pula dengan metode deteksi. Semakin ke sini semuanya semakin kompleks. Bukan tidak mungkin mungkin kecerdasan buatan bisa mengambil alih operasional kapal selam. Aldi memutar kenop di meja, sesekali memutar dan memperbesar peta. Kedua matanya mengamati dengan cermat kaki tebing. Terlihat titik-titik hidropon bertaburan di sana, saling menyambung dan membentuk untaian panjang.
"Alia, bagaimana ini?" tanya Aldi.
Alia menjawab, "Tebing itu sudah banyak kupingnya, mau tidak mau harus disiplin dan rutinitas senyap."
"Semua ABK sudah lakukan itu," jawab Aldi. Termasuk dirinya juga. Ia melirik kakinya yang mengenakan sepatu kets beralas karet sebagai peredam suara. Terlebih lagi ...
KLONTANG! KLONTANG!
Suara apa itu? Alia segera bergegas keluar dari ruang perwira. Ia mendapati Joni si kelasi muda di koridor. Ia berjongkok di lantai, memunguti kunci pas yang berserakan, dibantu dengan awak Arjuna yang lainnya.
Alia lalu mengajak Joni masuk ke dalam ruang perwira. "Coba kamu buka kotak peralatan itu," perintahnya ketus.
Dahi Joni langsung berkeringat. Ia lalu membuka kotaknya dan terlihat kumpulan kunci pas di dalam kotak. Kunci-kunci itu diletakkan begitu saja di dalam rak kotak peralatan.
"Kamu tahu aturan pertama untuk bawa peralatan?" tanya Alia dengan nada khas seorang interogator.
Pertanyaan Alia membuat Joni gemetaran. "Ya, selalu amankan peralatan dalam kondisi apapun," jawabnya.
"Tujuannya apa?"
"Supaya tidak jatuh seperti tadi," jawab Joni dengan terbata-bata. Ia menanti hukuman yang akan diberikan sang palaksa di hadapannya.
"Bagus kalau kau sudah paham, ini hukuman buatmu. Tata ulang dan amankan semua kunci pas itu!"
"Siap laksanakan!" Pertama, Joni meletakkan handuk di atas meja. Lalu, ia keluarkan kunci-kunci pas dari dalam kotak dan meletakkannya di atas handuk. Kemudian, satu per satu kunci pas dikembalikan dan diamankan di dalam kotaknya. Tak lupa pemuda itu memastikan kunci-kunci itu tak bergoyang. Terakhir, kotak itupun ditutup olehnya.
"Bagus, lain kali jangan ceroboh, ya. Kalau misalnya ini di zona operasi, kau masuk tabung torpedo, paham?" pesan Alia.
"Paham."
Aldi ikut bicara. "Aku juga dulu begitu, pernah menjatuhkan sabuk peralatan di ruang torpedo. Jangan diulangi lagi, ya," kata Aldi dengan lembut.
"Siap."
"Bubar," lanjut Aldi. Joni pun keluar, meninggalkan Aldi dan Alia di dalam ruang perwira. Keduanya lalu kembali mengamati peta digital zona latihan Shuimu.
"Sampai di mana tadi?" tanya Alia sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sampai di tebing yang ditempeli hidropon, jelas harus dijauhi. Lalu bagaimana dengan Gunung Jin? Kita merayap di sisi timur sehingga suara kita terhalang oleh gunung, bagaimana? Kayak RIMPAC di Hawaii dulu," kata Aldi mengusulkan.
"Gunung Jin? Secara teknis bisa saja kita bersembunyi di sana," kata Alia sambil menggosok dagunya. Boleh juga idenya. Merayap bagai ular di lereng, jauh dari pantauan hidropon di tebing. Taktik efektif untuk bersembunyi di bawah laut. "Namun, ada satu masalah. Salah bertindak bisa kena upwelling atau downwelling di sana," sanggah Alia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...