TII...IIING! TII...IIING!
Suara siulan terdengar silih berganti. Pada mulanya hanya terdengar di stasiun sonar, tapi sekarang suara itu muncul dan menggema di seluruh kabin Arjuna. Seluruh mata mengawasi ruangan, tak terkecuali Letkol Aldi Chaniago. Matanya seolah bisa menembus pipa-pipa, menembus dinding Arjuna, melewati lautan yang berombak dan di sanalah mereka berada. Tiga fregat Kelas Soedirman tak henti-hentinya berteriak bagai predator yang sedang mencari saingannya. Siulan itu memberi isyarat pada kapal selam yang berada di kedalaman. Keberadaan mereka sudah diketahui dan tak diinginkan. Pergi atau karam, itu saja pilihannya. Begitu tingginya nada siulan, ikan-ikan pun menyingkir. Area kolom air langsung kosong melompong dari aktivitas biologis, digantikan oleh tiga kapal perang dan dua kapal selam. Kali ini, bumi dikuasai oleh manusia yang sedang bertikai berebut sepetak laut. Sungguh sangat tidak alamiah. Sementara itu, jarak antara kapal selam hanya delapan ratus meter, jarak tembak minimum alias point blank shot. Itu kalau kita sedang perang, pikir Letkol Aldi.
Lagipula untuk saat ini membuntuti Shuimu masih menjadi misi utama Arjuna. Segala keputusan yang diambil Shuimu semuanya tepat. Menunggangi lapisan haloklin? Kenapa tidak. Aldi tak menyangka taktik kuno seperti itu masih dipakai. Mungkin karena taktik itu amat efektif digunakan, tapi amat berisiko karena Shuimu harus memasuki Vietnam. Sudah pasti negara itu tidak suka dengan keberadaan dua kapal selam asing di perairannya. Bisakah amarah Vietnam diredam? Jujur, situasi diplomatik seperti ini di luar kemampuannya. Membuntuti kapal selam bukan menjadi masalah, tapi tidak untuk urusan politis. Ia berharap para petinggi di Palangkaraya bisa mengurusnya nanti.
Suara dentingan sonar membuat telinga Aldi terasa sakit. Suaranya tajam menusuk gendang telinganya, memberikan rasa ngilu dan nyeri yang menjalar hingga ubun-ubunnya. Walaupun sejatinya ketiga kapal Soedirman itu merupakan kawan sesama TNI, tapi mereka memandang kapal selam sebagai musuh, tak peduli dari bendera manapun. Aldi tak punya pilihan selain merayap di atas dasar laut, berharap untuk lepas dari jala sonar aktif yang sudah ditebar kapal perang. Untungnya, dasar laut memberikan perlindungan yang baik pada Arjuna. Lebih-lebih dengan cuaca hujan di permukaan, mampu mengisolasi suara dari baling-balingnya. Lagipula sapuan sonar aktif itu justru lebih mengganggu Shuimu di depan, bukan?
Ternyata Aldi benar. Tak ada pilihan bagi Hanying kecuali bersabar, membiarkan Shuimu menyelinap menembus ketiga kapal perang itu. Di atas peta, tampak dua kapal berlayar di depan, sementara satu di belakang. Mereka terpisah dengan jarak sepuluh kilometer. Sayang seribu sayang, taktik ini sudah terbaca oleh Hanying. Mereka berharap Shuimu bisa tertangkap di antara barisan fregat pertama dan kedua, menjebaknya dari dua arah. Suara sonar aktif sudah pasti efektif mendeteksi kapal selam, jika di kedalaman samudra. Namun, tidak untuk kali ini. Sekarang Shuimu berada di laut dangkal dan bisa bersembunyi dengan mudah di sini. Andaikata di medan perang, sudah pasti ketiga fregat sialan itu sudah patah jadi dua, tapi kali ini ambisinya harus diredam sementara. Misi Hanying ialah memotret Markas Kogabwilhan I, sebagai bukti bahwa Shuimu berhasil menyusup ke Natuna. Artinya, Shuimu harus mendekat hingga pelabuhan sialan itu terlihat dari periskop. Untuk sekarang, Hanying harus melewati ketiga fregat pembawa sial itu. Bagus sekali, pikir Hanying sarkas.
Di atas anjungan Jayapura, Letkol Prajoto dibuat kesal oleh Shuimu. Siulan yang dilancarkan seakan tak berarti. Dasar sialan! Negara Tirai Bambu itu tidak pernah belajar. Dari data teknis yang diterimanya, kapal selam yang satu ini senyap bagai setan laut. Terlebih lagi, sistem sonar sudah katrok dan uzur. Semoga saja Surge bisa memiliki senjata yang ampuh untuk mengusir Shuimu.
"Kapten, ada komunikasi dari RSS Surge," kata seorang awak. Prajoto langsung mengambil radio.
"KRI Jayapura, over," kata Prajoto dalam bahasa Inggris.
"RSS Surge di sini. Status? Over," balas Surge juga dalam bahasa Inggris.
Prajoto menjelaskan dengan jujur, "Saya sudah perintahkan ketiga fregat untuk berpencar dalam formasi segitiga terbalik, tapi tampaknya itu tidak efektif, over."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...