Sukardi tersenyum. Ternyata Shuimu menuju Lubuk Natuna Timur. Bukan pilihan yang buruk, mengingat di sana banyak titik untuk bersembunyi dari patroli anti kapal selam. Baiklah, sudah waktunya menyiagakan seluruh aset di Natuna. Ia pun mengirimkan pesan pada seluruh armada. Pesan itu akhirnya tiba di anjungan RSS Surge dan langsung dibaca oleh Kolonel Kim. Boleh juga Arjuna, membuntuti Shuimu dari Tiongkok ke Natuna. Bukan tugas mudah bagi kapal selam diesel elektrik. Bisa jadi teknologi mereka jauh tertinggal dari AL Singapura. Namun, kenekatan mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Bukan nekat, tapi berani, Kim meralat dirinya. Tidak pernah ada awak kapal selam yang nekat. Kalaupun ada, mereka akan berakhir di dasar laut, karam selama-lamanya.
"Bagaimana, Kolonel Kim?"
"Mr. Kariban. Tampaknya kau benar," kata Kim sambil menyerahkan pesan itu.
"Lubuk Natuna Timur, tantangan bagi armada permukaan," kata Karso sambil membaca pesan itu. Ia menyerahkan pesan itu pada petugas pembawa pesan. "Jadi bagaimana?" tanya Karso kembali.
Lalu, peta holografik Laut Natuna muncul di meja ruang komando. "Baik, jadi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kapal perang TNI akan maju ke depan, menyisir mulut Lubuk Natuna Timur dengan jarak masing-masing kapal lima kilometer. Sementara mereka menyisir, kita akan berada di sini," kata Kim sambil menunjuk ke arah peta. "Ada pertanyaan?"
"Kalau begitu, helikopter bagaimana? Cuaca di luar tampaknya tidak mendukung," kata seorang perwira berseragam pilot.
"Laporan cuaca untuk besok bagaimana?" Kim bertanya balik.
"Hujan deras dan sulit untuk hovering di atas laut. Kita tahu untuk mendapatkan data sonar, helikopter harus melayang statis di atas laut. Namun, terpaan angin kencang bisa membuat kita oleng dan jatuh," ringkas sang pilot. Jawaban itu mendapat anggukan setuju dari perwira yang hadir.
"Tapi helikopter siap terbang, bukan?" tanya Kim memastikan.
"Kapanpun siap."
"Kalau begitu kamu terbang besok, coba untuk hovering. Kalau memang dirasa tidak mungkin, RTB. Diskresi di tanganmu."
"Yes, Sir! Understood, Sir," jawab sang pilot.
Sambil memperhatikan rapat para perwira Surge, Karso melirik ke luar jendela. Matahari terbenam di barat menyinari awan kelabu yang bergulung-gulung, menggantung rendah di langit. Air hujan pun akhirnya jatuh enghantam permukaan laut, membuat suara pengotor di sistem sonar. Boleh jadi sistem sonar Surge selevel dengan Arjuna. Namun, harus diingat sonar permukaan berbeda dengan sonar bawah air. Bukan dari sisi teknologi, melainkan dari lokasi penggunaan. Di permukaan banyak gangguan, mulai dari suara deburan ombak membentur kapal hingga hujan di luar. Hujan, bagus sekali. Sekalian saja badai, pikir Karso dengan sarkas.
Pengalaman sudah berkali-kali membuktikan, fakta di lapangan berbeda dengan rapat di Istana Negara. Ketika rapat, Karso memberikan fakta apa adanya, yakin dengan analisis yang disajikan. Di samping itu, para petinggi militer dengan mudah menyajikan rencana untuk mengusir Shuimu. Namun, saat ini di sinilah Karso berada. Rencana dan eksekusi sungguh berbeda, saat eksekusi sang eksekutor harus bisa beradaptasi dengan apapun yang muncul. Oleh karenanya, para perwira Surge sibuk berdebat satu sama lain, masing-masing memaparkan rencananya.
Kesibukan yang sama tampaknya juga dialami oleh Mayor Kasim di Natuna. Surat perintah siaga di udara sudah turun. Artinya, serangan sudah akan tiba. Seketika itu juga, Kasim dan krunya segera mengenakan seragam pilot abu-abu. Mereka langsung bersiaga di hangar, tempat pesawat diparkir. Sang mayor bisa menyaksikan para kru berlarian ke sana kemari, mempersiapkan pesawat untuk lepas landas. Salah satunya Leo Abisai. Pemuda berkulit hitam tersebut bertugas mengawasi radar dan sensor magnetik secara bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...