Bagai sembuah mulut raksasa, sebuah cekungan raksasa menyambut Shuimu. Cekungan berdiameter puluhan hingga ratusan kilometer itu merupakan lembah bawah laut, muaranya sungai-sungai purba di Laut Cina Selatan. Akhirnya, Shuimu tiba di medan tugas, mulut Lubuk Natuna Timur. Aneh, di sini terlalu tenang dan sunyi. Di peta, terlihat dua ekor paus yang sedang berenang ke sana kemari. Hanya itu saja. Lokasinya pun amat jauh, masing-masing berada 20 hingga 30 kilometer dan suaranya mampu tertangkap sonar. Di mana kapal patroli TNI? Hanying bertanya-tanya. Seharusnya mereka rajin wara-wiri di sini.
Bulu kuduk Hanying tiba-tiba meremang. Ia merasa seperti ada bayangan hitam jahat di belakangnya. Sosok itu berkuku tajam seakan hendak menerkamnya. Namun, ketika Hanying menoleh ke belakang, sosok itu menghilang. Perasaan apa ini? Hanying melihat sekelilingnya, mendapati awak kemudi sedang sibuk mengamati arah jalannya kapal, awak sonar sedang sibuk mendengarkan sekitarnya, dan Ranbing juga disibukkan dengan berkas. Semua tampak normal di sini. Hanying lalu membuang pikiran itu jauh-jauh. Tidak pantas komandan kapal selam percaya takhayul.
Takhayul.
Urusan konyol seperti itu hanya dipegang teguh orang terbelakang, sebut saja orang-orang desa nan kampungan dari negara petani miskin bernama Indonesia. Bayangkan, di zaman serba canggih masih saja percaya santet dan orang pintar alias dukun. Orang pintar disebut pintar karena dikunjungi orang goblok, itu saja. Namun ironis, negara petani miskin inilah pemenang perang sepuluh tahun yang lalu. Tidak, kemenangan mereka tak akan pernah diakui sampai kapan pun. Terlebih lagi dengan teknologi Shuimu yang akan mengguncangkan dunia. Tunggu saja tanggal mainnya, ASEAN akan dibuat malu karenanya. Ketika itu sudah terjadi, mungkin Hanying bisa membuat arwah Yun tenang di alam sana.
"Ranbing, stasiun tempur," kata Hanying.
"Baik, Komandan. Stasiun tempur," respon Ranbing. "Seluruh awak, stasiun tempur! Stasiun tempur! Stasiun tempur!" katanya melalui interkom.
Suara itu menggema di seluruh kapal, membangunkan para awak yang sedang terlelap di atas ranjang. Seluruh awak berlarian menuju stasiunnya masing-masing. Beberapa awak berlari melewati ruang komando, menuju ruang torpedo di depan. Suara langkah kaki para awak menggetarkan logam-logam penyusun dek. Getaran itu lalu dihantarkan logam penyusun rangka kapal menuju ke laut lepas, menggetarkan molekul air di sekitarnya. Getaran itu diterima oleh sistem sonar onde-onde Arjuna yang mengintai di belakang. Sersan Yuni langsung terjaga dari tidurnya.
"Dan, Terdengar ratusan langkah kaki dari Shuimu, tapi hanya sesaat" katanya.
Mereka pasti sedang siaga tempur. Aldi lalu beralih pada Alia, "Alia, stasiun tempur senyap."
"Siap, Dan. Stasiun tempur senyap," kata Alia mengulangi perintah Aldi.
Alia lalu meraih telepon spesial untuk operasi senyap. Telepon yang satu ini bisa dipakai tanpa tenaga listrik. Terdengar canggih, tapi teknologi ini sudah dipakai di AL Amerika sejak tahun 1944. Namun, sekarang sudah tahun 2063, tentunya telepon ini sudah memiliki beberapa kemajuan teknologi. Alia tidak perlu mengengkol telepon untuk memberinya tenaga listrik, melainkan hanya tinggal bicara saja. Suaranya lalu diterima oleh trasnformator, diubah menjadi gelombang listrik menuju sistem penerima. Di sistem penerima energi listrik kembali diubah menjadi gelombang bunyi di seluruh kompartemen.
"Stasiun tempur senyap," suara Alia terdengar lirih bagai bisikan. Seketika itu pula keempat puluh awak Arjuna sudah berada di stasiun masing-masing. "Dan, semua awak sudah siaga," lapor Alia.
"Tono, naikkan kecepatan jadi 6 knot. Jika jarak dengan Shuimu sudah mencapai 1 kilo, kurangi jadi 5 knot," kata Aldi.
Arjuna perlahan berenang mendekati Shuimu. Dasar laut sudah melandai naik ke atas, ditandai dengan naiknya angka petunjuk kedalaman. Arjuna merayap di atas dasar laut, hanya menyisakan lima meter di bawah lambung. Salah bertindak, kapal bisa kandas. Oleh karena itu, peta topografi di bawah lunas kapal diperhatikan Aldi dengan saksama. Setiap tonjolan yang muncul tak luput dari matanya. Ia siap memberikan perintah dadakan pada anak buahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mistério / SuspenseKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...