Bab 2

10 1 0
                                    

Di bawah guyuran pancuran, Kolonel Luo Hanying dibuat bingung. Kenapa aku dipanggil? Hanying melihat kalender digital. Sial, sang kolonel harus pergi ke markas di hari minggu. Tepat di hari libur yang sesungguhnya sudah sangat dinanti olehnya. Tapi apa daya, sebagai seorang tentara harus siap dipanggil ke medan tugas kapanpun dan dimanapun. Panggilan tugas setidaknya membuat pikirannya tidak terlalu kalut. Itulah yang dirasakannya ketika ia memandangi sebuah foto di mejanya saat ia sedang berpakaian.

Selesai berpakaian, Hanying pun keluar dan berjalan menelusuri koridor. Jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi, para tetangganya pun masih banyak yang terlelap dibuai mimpi indahnya. Namun, kondisi di luar jendela benar-benar berbeda. Awan gelap menggantung rendah di langit, kilatan petir sesekali menerangi kota. Pagi atau malam sudah tidak ada lagi bedanya. Pagi yang sempurna untuk bertugas, pikirnya sarkas.

Di lobi apartemen, sebuah mobil hitam berpelat pemerintah sudah menunggu Hanying. Sang supir mobil pun sigap membuka pintu depan. Hanying tak pernah suka duduk di belakang. Ketika duduk di belakang, dirinya serasa seperti dikultuskan dan Hanying tidak suka itu. Sebagai seorang perwira AL, sudah sepantasnya ia duduk setara dengan para awak kapalnya. Lagipula ia juga memulai karirnya dengan mengerjakan tugas yang remeh sebagai pembersih toilet.

Kurang lebih dua puluh menit kemudian, Hanying tiba di sebuah instalasi militer. Kompleks itu dijaga seorang penjaga berjas hujan berhiaskan sepucuk senapan. Bisa ditebak di balik jas hujannya, sang penjaga membawa amunisi ekstra. Hanying menoleh ke kiri dan mendapati huruf terpampang di sebuah dinding. Huruf kanji di pagar instalasi itu mengabur karena derasnya hujan. Meskipun begitu, Hanying bisa membaca huruf-huruf kanji itu dengan mudah. Dia langsung menegakkan tubuhnya di kursi penumpang. Setelah identitas Hanying dan sang supir diproses, barulah keduanya bisa melenggang masuk ke dalam kompleks.

Mobil Hanying berjalan lurus menelusurui jalanan utama. Kemudian, mobil belok kiri menuju sebuah gedung beton yang tidak menyolok. Meskipun gedung itu tampak membosankan, Hanying tersenyum bangga melihatnya. Desain gedung itu adalah cerminan filosofi yang dipegang oleh orang yang bekerja di dalamnya. Kemenangan di dalam diam, itulah slogannya.

Mobil itu lalu berputar dan masuk ke dalam tempat parkir di ruang bawah tanah. Sekali lagi, ketika Hanying hendak masuk ke dalam gedung, ia harus melalui kembali sebuah pos jaga. Wajar bagi Hanying, mengingat gedung yang dimasukinya adalah Markas Komando Kapal Selam Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.

"Komandan, ini kartu identitasnya," ujar prajurit jaga sambil menyerahkan identitas Hanying.

"Terima kasih," balas Hanying sambil memasukkan identitasnya ke dalam sakunya.

"Omong-omong, hari ini dingin."

Hanying bersungut-sungut, "Dingin tapi tetap ceria, ya."

"Pastinya," jawab si penjaga tertawa kecil.

Hanying pun berlalu meninggalkan penjaga tadi dengan perasaan campir aduk. Ceria? Perasaan macam apa itu? Harusnya dia bersedih, kecewa dan marah. Bayangkan saja, Tiongkok harus bertekuk lutut di hadapan ASEAN. Padahal kita punya armada yang kekuatannya melebihi armada Laksamana Cheng Ho. Negara-negara petani miskin itu dengan beraninya mengadali kita. Kita sudah memberi mereka paket ekonomi, tapi air susu dibalas dengan air tuba. Lebih lancang lagi, nama Laut Cina Selatan diganti menjadi Laut Tenggara, seakan-akan laut itu adalah milik mereka. Tak ada yang lebih memalukan bagi Hanying ketika ia harus menyaksikan Presiden dan Premier harus menandatangani Pakta Laut Tenggara di New York.

Pikirannya semakin kalut kala Hanying sedang menunggu di depan kantor laksamana. Bayang-bayang sepuluh tahun yang lalu mulai merasuki akal sehatnya. Satu bayangan yang terjelas muncul dalam benaknya.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang