Aldi berjalan perlahan memasuki sebuah gedung putih di dermaga. Sang letkol sudah tahu gedung apa itu. Ia tak perlu lagi membaca namanya di dinding. Ketika perang sudah usai, ia juga menghadiri upacara peletakan batu pertama gedung Peringatan Pertempuran Laut Tenggara. Gedung putih ini menympan banyak kenangan bagi sang letkol, terutama kenangan menyakitkan. Dia berhenti sejenak di depan, mengamati indahnya matahari terbenam di barat. Lalu, keduanya berjalan memasuki gedung tersebut.
Seketika itu semuanya berubah. Langkah kaki Aldi menggema di atas lantai pualam. Di sisi kanan dan kiri gedung terdapat jendela-jendela tinggi yang masing-masing menghadap timur dan barat. Sementara itu, sinar mentari yang kemerahan menembus sela-sela dinding pualam, menampilkan lapisan-lapisan tirai cahanya yang indah, mengiringi perjalanan mereka. Mau dibawa kemana ini? pikir Aldi. Tak banyak orang di dalam, hanya beberapa pengunjung yang mengamati nama-nama yang terpatri di dinding. Di luar, suara nyanyian burung camar dan suara ombak terdengar menemani langkahnya.
Pada akhirnya, tibalah Aldi di sebuah tugu granit berwarna hitam. Tugu itu terletak di tengah-tengah ruangan. Di dinding juga terdapat prasasti-prasasti yang terbuat dari bahan yang sama. Di tembok hitam itu ada ribuan nama orang, dipahat di sana. Aldi tahu betul tembok dan tugu itu. Itu adalah Tugu Peringatan Perang Laut Tenggara. Di depan tugu, Aldi mendapati Hanying sedang memandangi nama-nama itu.
"Banyak juga yang korbannya," gumam Hanying sedih.
"Sekitar dua ribu orang," jawab Aldi di belakangnya.
Hanying berputar dan menghadap Aldi. Masih muda sekali, pangkatnya baru letkol tapi sudah bisa memimpin kapal selam. Pemuda ini sudah memenangkan rasa hormat darinya. Tidak hanya cakap dalam tugasnya, tapi berhati mulia. Hanying tak akan pernah lupa dirinya diselamatkan Aldi yang merupakan musuh bebuyutan. "Letkol Aldi," sapa Hanying.
Aldi pun balas menatap Hanying. Sudah cukup paruh baya dengan rambut sedikit memutih, tapi masih sanggup memimpin kapal selam nuklir. Aldi pun membalas, "Kolonel Hanying, selamat datang di Tugu Laut Tenggara. Seperti yang sudah Anda lihat, bukan tempat yang menyenangkan."
"Terlebih lagi buat korban perang," ujar Hanying lemas. Ia tak perlu lagi menambahkan Yun sudah berada di alam sana.
"Aku setuju," kata Aldi mengangguk.
"Kamu juga?"
Aldi tak menjawab, ia mengajak Hanying menuju salah satu tembok prasasti granit. Di sana tertera nama Sersan Ratih Rusdiansyah. Aldi menggosok namanya dan muncullah foto holografis Sersan Ratih. Foto yang muncul tidak spesial, hanya sebuah pas foto biasa khas persyaratan dinas. Namun, senyum tersungging di di bibirnya membuat wajahnya seakan berseri-seri.
Hanying berdecak, "Cantik juga dia. Memang siapa dia?"
"Calon istri, tapi dia sudah pergi," jawabnya. Aldi tak mengalihkan pandangan dari foto. Kenangan bersama Ratih kembali muncul di dalam benaknya, diputar bagaikan film 8 milimeter. Senyuman, cara berjalan, hingga suaranya pun muncul. Sungguh aneh, tak ada satu air mata pun yang keluar. Mungkin karena tak ada lagi yang perlu ditangisi. Angin laut bertiup, membuat suasana sedikit dingin, tapi Aldi tak peduli. Ia terus mengamati foto itu, memperhatikan setiap fitur dari wajah Ratih, membakarnya ke dalam ingatannya. Semoga saja dengan begitu, Ratih bisa damai di alam sana. Komitmen untuk menghabiskan hidup berdua terputus begitu saja karena perang, memisahkan Aldi dan Ratih selamanya. Saat ini, Aldi hanya bisa memandangi punggung Ratih yang berjalan ke surga.
Last Online 10 years ago. Saat itu bisakah perang dihentikan? Andaikan bisa pun masa lalu tak bisa diulang. Perang boleh jadi dimenangkan, tapi bagaimana dengan kami yang sudah ditinggalkan? Orang sipil boleh berpesta pora, tapi tragedi ditanggung oleh militer. Kalah jadi abu menang jadi arang, sama-sama menderita walau menang sekalipun. Sekali lagi, Aldi seakan merasa menjadi sebuah roda gigi di dalam mesin raksasa, tak mampu melawan takdir. Pas foto itulah buktinya.
Hanying tiba-tiba membungkuk, "Maafkan kami, Aldi. Aku turut berduka. Gara-gara aku, dua ribu nyawa harus melayang. Saat itu bandara adalah sasaran utama rudal kami. Sekali lagi saya mohon maaf."
Ternyata dia orangnya. Karena dirinya, Aldi harus merelakan Ratih. Karena dirinya, Ratih direnggut. Karena dirinya, Aldi tak mampu merasakan rasanya hidup sebagai suami dan calon ayah. Namun, sikap Hanying sungguh mengesankan. Dia sudah bersikap layaknya ksatria. Aldi pun juga membungkuk, "Maafkan saya juga, Kolonel."
Hanying menegakkan badan, "Kenapa?"
"Karena saya sudah mengaramkan Shandong," jawab Aldi. "Ketika itu sayalah juru torpedonya," sambungnya.
Waktu serasa berhenti bagi Hanying. Ia tak menyangka orang berwajah lembut di hadapannya merupakan pelaku karamnya Shandong. Karena dirinyalah ia tak bisa merasakan kehangatan Yun. Karena dirinyalah, Tiongkok harus menanggung malu di hadapan Sidang PBB. Karena dirinyalah, Tiongkok harus menandatangani Pakta Laut Tenggara. Akan tetapi, orang-orang seperti Aldi mau mengakui aksinya di medan perang. Tidak seperti Tiongkok yang hanya bisa menggertak dan meninggikan diri, termasuk Hanying sendiri. Aldi sudah menunjukkan sikap ksatria, meskipun ia tidak salah. Lagipula, penenggelaman Shandong masih di dalam koridor peperangan yang sah.
Hanying menghela nafas, "Angkat kepalamu, Aldi. Lagipula memang sudah nasib kita berdua, sama-sama kehilangan. Kita yang masih hidup harus mencegah perang muncul kembali."
"Terima kasih, Kolonel," kata Aldi sambil mengulurkan tangan.
"Sama-sama," balas Hanying tersenyum. Ia menjabat tangan Aldi, menggenggamnya erat-erat.
Mantap juga genggamannya, pikir Aldi. Akan tetapi, genggaman itu terasa hangat. Mengapa orang-orang berhati hangat seperti ini yang mampu menghancurkan? Pertanyaan itu sedikit mengganggu batinnya. Meski demikian, Aldi tak bisa memandang Hanying sebagai musuh, tapi sahabat dekat. Dunia kapal selam penuh dengan kerahasiaan. Misi kali ini tak boleh diketahui siapapun, termasuk Ibu di Surabaya. Sungguh aneh, ia justru bersimpati pada kubu sebelah sesama awak kapal selam. Ironis memang, sudah menjadi takdir bahwa musuh menjadi sahabat karib. Namun, itulah yang terbaik, bukan?
Dua minggu kemudian, di markas Surabaya, Letkol Aldi kini bukan seorang letkol, melainkan Kolonel. Aksinya membuntuti Shuimu mendapat acungan jempol dari para perwira. Dirinya, ditemani Alia mendapatkan promosi kenaikan satu pangkat. Bukan hanya itu, awak Arjuna pun juga mendapatkan medali penghargaan atas jasa mereka di Natuna. Di meja makan, Aldi tak henti-hentinya memandangi pangkat berlogo bunga emas di bahunya. Setiap kali ia menyeruput kuah soto, ia memandangi bunga itu dengan bahagia. Di televisi, terdengar berita pengangkatan mesin kapal di Natuna. Sudah pasti itu adalah tipuan. Ia tahu kalau itu adalah reaktor kapal selam, tapi biarlah publik tidak tahu. Lagipula, promosi kenaikan pangkat sudah cukup membuatnya bahagia.
Alia berseri-seri, "Aku jadi Letkol, senangnya. Meskipun TNI AL belum buat kapal selam baru."
"Untuk sementara ini bersamaku saja dulu, nikmati masa-masa menjadi palaksa sebelum menjadi komandan nanti," kata Aldi berbagi pengalaman, "tapi ada ruginya jadi perwira menengah begini," kata Aldi tersenyum pahit. Ia mengambil sesendok sambal dan dicampurkan ke dalam soto.
Alia bertanya sambil menyeruput soto, "Apa ruginya? Gaji sudah pasti naik, ditambah lagi dengan tunjangan. Plus rumahmu akan pindah ke kompleks perwira AL, tidak jauh dari markas, bukan? Di samping itu, rumahnya enak."
"Itu sisi positifnya," kata Aldi sambil makan. "Sisi negatifnya? Kamu tahu apa?" tanya Aldi.
Alia menggeleng, "Apa sisi negatifnya?"
"Dokumen menggunung untuk diproses. Mulai dari transfer pangkat hingga urusan pindahan," kata Aldi. Ia tak perlu menambahkan, laporan rahasia menguntit Shuimu belum selesai diproses.
"Dan, urusan yang itu jangan diberitahu, dong!" kata Alia sambil mengacak-acak rambutnya.
"Selamat datang di dunia perwira," kata Aldi setengah bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...