Letkol Aldi Chaniago sedang bercermin. Dirinya tampak klimis dengan dagu yang tercukur rapi. Kini ia berpakaian rapi dengan seragam dinas harian TNI AL. Sang letkol mengenakan kemeja biru muda lengkap dengan celana panjang biru gelap. Semua atribut, mulai dari topi hingga tanda kepangkatan sudah disemir hingga mengilap. Oke, tampak gagah dan berwibawa, pikirnya. Setidaknya itulah yang dipikirkan orang sipil ketika melihat perwira militer. Bagaimana dengan kenyataannya? Jangan ditanya, sudah menjadi rahasia umum kalau awak kapal selam bertingkah layaknya bocah-bocah SMA, suka bercanda satu sama lain, bahkan dengan perwira sekalipun. Itulah jiwa korsa, lebih khusus lagi anggota Korps Hiu Kencana. Sebuah kebanggaan bisa melayani korps ini. Aldi memandangi lambang hiu dengan kapal selam terpajang di dadanya. Menguatkan diri, ia pun keluar dari dalam barak.
Di luar, Mayor Alia Rahman sudah menunggu. Di luar dugaan, wanita itu tampak bersih dan cantik dengan seragam dinas harian TNI AL. Tanda kepangkatan di seragamnya tidak kalah mengilap dengan Aldi. Maklum, mana bisa berdandan di dalam kapal. Di samping itu, sudah pasti raut wajahnya terlihat acak-acakan akibat operasi panjang. Jujur saja, Aldi ingin memamerkan kemampuan Indonesia yang bisa menyelinap ke perairan Tiongkok. Namun, perintah dari Laksamana Sukardi adalah diam dan baca saja cerita palsu dari BIN.
Alia membuka tablet dokumen. Memang jagonya BIN untuk mengarang cerita, terlebih lagi dengan data dari Arjuna yang cukup lengkap. Namun, kiprah KRI Arjuna di operasi ini seakan dikebiri begitu saja, tenggelam ditelan ombak lautan.
Alia tampak cemberut, "Cerita palsu yang mengenaskan."
Aldi juga kecewa. Namun, ia tetap sabar, "Urusan rahasia begini memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Ingat insiden manusia perahu, bukan?"
"Sejelas hari kemarin. Australia nyelonong ke wilayah kita. Langsung difoto kapal selam dan hasilnya tidak ada lagi kapal Australia masuk tanpa izin," jawab Alia ringkas.
"Seperti itu, itulah Dinas Tanpa Suara," sambung Sersan Yuni Hartanto. Lalu, mereka pun pergi meninggalkan barak.
Sesaat kemudian, tibalah mereka di depan pintu ruang rapat yang masih tertutup. Di seberang koridor, tampak Kolonel Hanying dan beberapa perwira Shuimu sedang berbincang-bincang dengan dua orang. Aldi mengamati, kedua orang itu berpangkat lebih tinggi dari mereka. Salah satunya adalah laksamana sedangkan yang satu lagi berpakaian sipil, mengenakan setelan jas layaknya pebisnis. Namun, dari lencana Partai di kerah jasnya, Aldi sudah tahu pria itu bukanlah kaleng-kaleng. Dia jauh lebih berkuasa atas Hanying, bahkan sang Laksamana pun manut saja padanya. Aldi merasa tak nyaman mengamati mereka berdua. Tatapan dari mereka seakan mengintimidasi Aldi. Di samping itu, para perwira diterjunkan ke sini sendirian, belum tampak batang hidung Pak Karso ataupun Pak Kardi.
Seakan menjawab harapan Aldi, tampak sosok Karso Kariban dan Laksamana Sukardi muncul dari lift. Aldi dan Alia pun menghampiri mereka berdua.
"Pak Karso, Pak Kardi," sapa Aldi sambil memberi hormat.
Laksamana Sukardi membalas hormat dari Aldi. "Bagaimana pesiar dan rehatnya?" tanyanya.
Aldi tersenyum, "Nikmat sekali, Pak. Apalagi ditemani siomay dan kernas. Sudah bisa ditebak, Alia makan dengan porsi ekstra."
"Tidak ada jaga image ya?" tanya Sukardi menyelidik.
"Pasti tidak ada," Aldi tertawa lepas, "kita makan sudah seperti vaccuum cleaner."
"Masya Allah, kamu ini susah diatur," kata Sukardi mengurut dada.
"Percuma dikasih tahu. Semua yang saya didik tidak pernah menjaga image," sambung Karso terkekeh.
"Karso, kamu apakan Alia sampai jadi begini? Padahal dulu dia kalem, nggak begini," tanya Sukardi sedih.
"Ehehehe," Alia terkekeh geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...