Bab 8

7 0 0
                                    

Baling-baling CN 268 berputar kencang, meraung-raung di landasan. Burung besi itu siap melesat layaknya atlet lari di lintasan Olimpiade. Biasanya pesawat itu hanya butuh satu kilometer dari panjang landasan untuk mengudara, tapi tidak untuk varian yang satu ini. Pesawat ini harus memikul sebuah piringan radar di punggungnya, sehingga hanya mampu lepas landas setelah mencapai nyaris dua kilometer dari tiga kilometer panjang landasan. Pilotnya, Mayor Kasim Dewanto harus berusaha keras untuk membuatnya mengudara. Bagian flap pada sayap pesawat diturunkan pada posisi maksimum dan tenaga mesin pun sudah ditambah. Pesawat sudah siap mengudara dan tinggal menunggu izin lepas landas dari menara.

Setelah izin diberikan, Kasim mendorong tuas mesin ke depan. Pesawat pun segera berlari kencang di landasan. Aliran udara yang melewati bagian bawah sayap memberikan daya angkat. Sebagai seorang pilot dengan ribuan jam terbang, Kasim bisa merasakan lantai di bawah kakinya mulai terangkat. Rotate! Rotate! Rotate! Ia merespon dengan menarik kemudi ke belakang perlahan. Hidung pesawat perlahan terangkat, menghalangi pandangan Kasim di kokpit. Tak lama, pesawat itupun mengudara hanya menyisakan lima ratus meter dari sisa landasan.

Mayor Kasim lalu mememutar pesawat ke arah selatan, menuju zona patroli yang sudah ditentukan pada saat pengarahan kemarin. Radiusnya tidak tanggung-tanggung, nyaris mencapai 100 km di sebelah selatan Natuna. Wilayah yang cukup luas untuk pesawat intai CN 268. Untungnya pesawat baling-baling yang satu ini didesain dengan tangki cadangan. Setidaknya di pagi yang cerah ini masih ada setermos kopi yang menemani Kasim kali ini. Ia lalu menyeruput kopinya. Rasanya sungguh menyegarkan.

Tampaknya patroli kali ini akan kembali menjadi rutin. Bagi Kasim, rutin adalah istilah ganti untuk menjemukan. Namun, jauh di lubuk hati sang mayor ia bersyukur. Ia tak perlu lagi merasakan ketegangan patroli sepuluh tahun yang lalu. Sudah cukup baginya berjibaku dengan kapal perang. Entah berapa kali ia lolos dari maut ketika rudal yang ditembakkan Tiongkok luput. Sampai sekarang, sang mayor bisa menyaksikan rudal yang melintas dengan mata tertutup. Rudal itu melesat hanya 200 meter dari kokpit. Saat itu dirinya selamat berkat chaff yang dilontarkan, mengganggu sinyal radar dari peluru kendali sehingga akhirnya luput. Membayangkannya saja dahi Kasim sudah berkeringat dingin. Bersyukurlah untuk patroli yang membosankan, artinya dia masih diizinkan untuk hidup tanpa bahaya.

Sejam kemudian pesawat tiba di lokasi. Laporan dari juru radar yang diterimanya pun serasa normal. Ada dua kapal perusak yang sibuk mondar mandir di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ada pula kapal-kapal nelayan yang berlayar kembali ke Natuna, mungkin setelah semalaman menunggu tangkapan. Terima kasih Pak Nelayan. Semoga tangkapan kali ini memuaskan, katanya dalam hati. Dua jam lamanya ia menyusuri wilayah patroli dan tak menemukan apapun yang mencurigakan. Akhirnya ia memutuskan untuk menuju lebih ke selatan.

Pesawat itu sedikit berguncang ketika memasuki awan tebal. Pemandangan indah di luar sirna, digantikan dengan warna putih yang menyelimuti tubuh pesawat. Di kokpit, pilot hanya bisa mengandalkan panel instrumen untuk terbang. Untung saja awan tebal itu tidaklah seganas yang diduga, pikir Lettu Leo Abisai sang Juru Radar. Peralatan radar di pesawat seakan sudah menjadi mainannya dan pemuda itu bangga dengan kemampuannya. Ketika pesawat masuk ke awan ataupun diterpa cuaca buruk, hanya radar yang bisa mengamati situasi di luar pesawat. Malam hari? Cuaca hujan Tidak masalah, radar solusinya.

Teknologi radar sudah dipakai pada semenjak Perang Dunia II. Pada awalnya untuk alarm peringatan dini. Pada akhirnya sistem itu merevolusi dunia penerbangan, baik sipil maupun militer. Alat itu mampu memancarkan gelombang radio yang jemudian dipantulkan oleh objek di udara dan permukaan air. Gelombang pantulan inilah yang tampak sebagai kontak radar. Teknologi yang sederhana tapi mutakhir. Namun, tetap saja radar ada batasannya. Radar hanya mampu mendeteksi objek terbang ataupun permukaan, tidak untuk bawah laut. Tugas untuk sensor bawah air diemban oleh rekan Leo yang duduk di sebelahnya, Letda Amir Saefudin.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang