Bab 32

4 1 0
                                    

Suara ketukan, hantaman dan dentingan merambat di kolom air. Suara-suara itu terdistorsi oleh padatnya molekul air dan menjelma menjadi jeritan di telinga Yuni. Di kedalaman laut, awak Shuimu sedang berusaha untuk menutup kebocoran yang terjadi, sementara permukaan air di dalam kapal semakin lama semakin tinggi. Kapal selam itu sudah menjadi peti mati bagi awaknya. Mereka yang sudah tewas adalah mereka yang beruntung. Mereka yang terjebak adalah yang sial, malaikat maut hanya tinggal sejengkal lagi dan ia tertawa riang karena akan panen nyawa sebentar lagi. Yuni melihat sekelilingnya, berusaha mencari instruksi, atau apapun yang bisa menenangkannya. Namun, semua mata tertuju pada sang kapten, Letkol Aldi Chaniago.

Aldi masih terduduk di kursi komando, memegangi rusuknya yang patah dan bengkak. Apa yang harus kulakukan? Sosok Ratih kini kembali menghantui dirinya. Wajah cantiknya terus muncul, membuat nafas Aldi semakin sesak dan nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi.

Biarkan saja mereka karam! Terjebak di dalam kapal dan perlahan mati tenggelam adalah hukuman yang sangat cocok bagi mereka. Tuntas dan tamat. Sepuluh tahun yang lalu Aldi mendapatkan kepuasan batin, ketika torpedo menghantam lambung kapal Shandong. Ia bahkan masih mengingat kapan Shandong karam, tepat pada pukul dua belas lewat seperempat dini hari. Setelah itu, Aldi tidur dengan nyenyak, terlelap tanpa mimpi. Betapa nikmatnya membalas dendam dan tertawa di atas penderitaan orang lain. Aldi-lah instrumen untuk membalas dendam. Dendam kesumatnya sudah terbalaskan. Senyum mengembang di bibir Aldi. Tapi apa selanjutnya?

Di televisi, Aldi menyaksikan iringan pemakaman yang bergulir di jalan, mulai dari Shanghai hingga Beijing. Sanak keluarga menyambut kedatangan mereka dengan isak tangis yang memilukan, mendengarnya sudah pasti menyayat hati. Tidak bagi Aldi. Salah mereka sendiri karena menyerang Natuna. Lima ribu awak untuk satu pulau, harga yang pantas. Benarkah begitu? Apakah segitu murahnya nyawa manusia? Tidak, Aldi meralat dirinya. Suara isakan itu terus mengganggu sehingga Aldi membuangnya jauh-jauh ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Last Online 10 years ago. Pesan itu kembali terngiang di dalam benaknya. Apa yang harus kulakukan? Andaikan Shuimu dibiarkan begitu saja, semua awaknya akan tewas tanpa udara, tercekik kehabisan oksigen. Andaikan diselamatkan, dirinya harus bertemu dengan awak Shuimu yang dibencinya. Semua pilihan terasa menyakitkan, tidak ada jalan tengah bagi Aldi. Satu pilihan ekstrim ditimpa dengan pilihan ekstrim yang lain.

Sebuah kilau keemasan tampak dari sudut matanya. Aldi pun menoleh dan mendapati sebuah plakat keemasan di dinding ruang komando. Huruf-huruf terpajang di atasnya, membentuk sebuah kalimat mutiara. Warnanya hitam yang kontras dengan latar belakang keemasan hingga udah dibaca.

Di Laut Kita Semua Sama

Sungguh benar apa yang tertulis di sana. Setiap pelaut di muka bumi ini punya tiga musuh, yaitu AL musuh, dirinya sendiri, dan lautan. Itu pesan dari Pak Karso ketika ia memberikan plakat itu pada upacara pelantikan Aldi sebagai komandan Arjuna. Lautan, kata itu terngiang di telinga bak suara bel di tengah kesunyian. Ia menggenggam telepon genggam itu dengan erat, seolah tak mau melepaskannya.

"Ratih, maaf," kata Aldi berbisik dengan lirih.

"Tidak apa-apa," jawab sebuah suara. Kemudian suara itupun pergi, menghilang bagai tamu tak diundang.

Ratih? Aldi menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara. Sudahlah. Aldi kemudian membuang pikiran itu jauh-jauh. Kok kapten kapal percaya takhayul? Bisa saja akibat rusuknya yang patah, ia mulai melantur. Aldi tertawa kecil. Beban masa lalu itupun terlepas, membebaskannya bagaikan burung yang terbang keluar dari sangkarnya yang sesak. Tiba-tiba semua menjadi terasa ringan. Aldi pun menghela nafas lega dan menyimpan kembali telepon genggamnya. Ia lalu beralih pada Alia. "Alia, sambungkan Gertrude pada Shuimu," katanya tersenyum lembut.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang