Bab 6

4 1 0
                                    

Seorang supir berpangkat sersan sedang menyupir truk di jalan raya Palangkaraya-Tangkiling. Ia menyupirinya dengan kecepatan tak lebih dari 50 km per jam, khawatir akan muatannya di belakang. Tangki bahan bakar yang terlihat di kaca spion membuatnya terintimidasi. Selain dari ukurannya, isinya juga membuatnya merinding. Tulisan "Awas Mudah Terbakar" di tangki itu sudah memberikan peringatan keras. Begitu besarnya tulisan itu hingga orang buta pun bisa langsung lihat.

Jalanan yang tak rata membuat truknya terguncang-guncang ibarat perahu di tengah ombak. Di langit, awan mulai berkumpul, menggelapkan langit yang semula terang. Bagaimana kalau truknya tergelincir? Bagaimana kalau tersambar petir? Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang membuatnya semakin khawatir. Akhirnya ia buang pertanyaan itu jaiuh-jauh dan kembali pada tugasnya, yaitu mengemudikan truk tangki dan memastikan konvoi tiba di Tangkiling dengan selamat.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi langit sudah gelap seperti malam. Dalam sekejap, berton-ton air hujan tumpah ruah membasahi landasan Mako Divisi 28 TNI AU Tangkiling. Seakan tak mau kalah, kilat turut menyambar ke sana kemari. Kilatannya menerangi langit yang gelap. Cahayanya sesekali menerangi ruang tunggu, menciptakan bayangan-bayangan hitam di dalam. Tampaknya laporan cuaca masih belum begitu akurat meskipun teknologi sudah melompat jauh. Itulah yang ada di dalam benak Karso Kariban yang duduk sendirian di ruang tunggu. Setidaknya ruangannya nyaman, pikirnya sambir bersandar di kursi malas yang empuk. Ia juga ditemani segelas air dan nasi kotak yang baru saja tiba. Udara dingin membuatnya lapar dan segera menyantap nasi kotak itu. Nasi dan ayam goreng langsung dilahapnya. Kurang dari lima menit kotak itu sudah kosong dan berakhir di tong sampah.

Lima belas menit setelah Karso makan, terlihat dua buah truk tangki melintas. Terhalangi oleh hujan, sosok mereka tampak kabur dari balik jendela ruang tunggu. Keduanya mendekati dua buah pesawat kargo CN 395 yang terpakir di kejauhan. Satu buah truk berputar perlahan, dipandu gerakan tangan pemandu di landasan. Truk itu bergerak mundur, menaiki pintu kargo yang terbuka sebagai landasan, lalu ditelan oleh cahaya dari dalam ruang kargo. Kemudian, kepala truk itupun lepas dari ruang kargo pesawat dan menghilang dari pandangan. Proses yang sama terjadi juga dengan truk yang lain.

Mereka mau terbang di cuaca begini? Dasar gila. Meski begitu, Karso berdecak kagum dengan ketangkasan awak bandara. Mengisi kargo dengan tangki bahan bakar bukan hal yang mudah, apalagi terbang dengannya. Jarak pandang yang pendek ditambah landasan yang licin sudah tentu mampu membuat tangan para pilot berkeringat deras. Namun, tampaknya tidak bagi Marsekal Saijan Hadiwijaya dan anak buahnya. Saijan bukan orang yang main-main. Sejak kecil ia sudah mendambakan menjadi penerbang tempur, meskipun pada akhirnya ia menjadi pilot pesawat kargo. Walau begitu, tugas itu diembannya dengan penuh rasa bangga. Keberaniannya pun dibuktikan ketika perang sepuluh tahun yang lalu.

Terdengar pintu ruang tunggu dibuka. Seorang petugas masuk ke dalam, "Pak Karso, sudah waktunya berangkat."

"Oke, tolong antarkan ke sana," kata Karso sambil mengambil koper dan tas jinjingnya.

Karso mengekor petugas itu. Keduanya keluar dari ruang tunggu perwira. Mereka menelusuri koridor menuju lobi pangkalan. Di sana, sebuah mobil jip dan sosok Marsekal Saijan yang sudah menunggu.

"Pak Karso, maaf sudah membuat menunggu lama," kata Saijan sambil menjabat tangan Karso.

"Kok bisa lama?" tanyanya penasaran.

"Tadi Pak Doni telepon. Truk sempat terjebak macet, maklum hujan," jawab Saijan.

"Nasib sial kita kayaknya."

"Yang terpenting tangkinya sampai, ayo naik," lanjutnya ramah. Saijan langsung duduk di balik kemudi.

"Pak, biar saya saja yang supiri," si petugas menawarkan diri.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang