Bab 11

3 1 0
                                    

Malam itu, Laksamana Sukardi harus menghadap presiden. Jujur saja, ia tidak pernah terbiasa dengan itu. Lebih-lebih kalau hanya harus bedua dengannya di ruang kerja presiden di Istana. Sulit bagi Sukardi untuk menikmati kue bolu di meja, padahal bolu adalah camilan kesukaannya. Beruntung baginya, ada segelas teh panas yang menemani di malam yang dingin kali ini. Kali ini Sukardi merasa seperti sedang diinterogasi. Terlebih lagi ketika ia menyebut nama AL Singapura.

"Kenapa harus Singapura?" tanya Presiden skeptis.

"Pak Presiden tahu insiden Gutierrez bukan?"

"Tahu," Presiden mengangguk, "seingat saya Pak Arif yang membongkar kedok Gutierrez, bukan?"

"Betul, dan itu juga dengan bantuan Andrew Tan dari SID."

"Lalu bagaimana dengan AL Singapura sendiri?"

"Tidak perlu diragukan lagi. Mereka sudah sering latihan dengan Inggris," jawab Sukardi yakin. Ia tidak perlu menambahkan pengalaman AL Inggris dengan kapal selam. Semenjak Perang Dunia I dan II, mereka sudah berjibaku melawan kedigdayaan kapal selam U-boot Jerman. Hasilnya, berkat kerja keras Inggris, ratusan U-boot harus berakhir di dasar Samudra Atlantik. Di samping itu, pengalaman mereka juga dipelajari oleh negara anggota persemakmuran, salah satunya Singapura dan Malaysia.

"Lalu bagaimana dengan AL Malaysia? Mereka kalau tidak salah punya tiga pangkalan, bukan?" usul Presiden seolah bisa membaca pikiran Sukardi.

"Kemampuan AL Malaysia memang sepadan dengan Singapura, tapi jalur birokrasi mereka lebih panjang. Kalau kita minta bantuan tak hanya harus melalui Putrajaya, tapi juga Kuching. Artinya Sabah dan Serawak harus terlibat. Hasilnya sudah bisa ditebak, begitu Malaysia kasih lampu hijau, Shuimu sudah berjoget di Natuna."

"Vietnam bagaimana?"

"Pak Presiden, apa yang terjadi kalau Vietnam tahu kalau Tiongkok buat kapal selam baru?"

Presiden bersungut-sungut, "Ya, sudah pasti keduanya bisa ribut kembali. Tapi kalau kita minta bantuan Singapura, sudah pasti mereka minta imbalan."

"Gampang itu, saya tahu Andrew," kata Arif Hidayat yang baru saja masuk. "Kasih saja apa yang SID minta. Anggap saja sebagai uang muka," sambungnya.

Presiden sedikit bingung, "Uang muka?"

Arif kemudian duduk di sebelah Sukardi. "Pertukaran informasi. Lumrah dalam bisnis intelijen. Lagipula BIN dan SID sudah akrab sejak lama," ujarnya.

"Oke, tapi siapa yang akan dikirim ke Singapura?" Presiden balik bertanya.

Arif menggaruk kepala, "Pak Karso saja. Kebetulan dia juga ada di Natuna. Saya bisa telepon sekarang juga kalau Bapak mau."

Presiden terdiam sejenak. Seisi ruangan menjadi hening, tak ada sepatah katapun keluar dari mulut ketiga orang itu. Hanya suara detak jam dan dentingan gelas berisi teh yang terdengar. Ruang kerja serasa seperti kuburan. Lampu-lampu yang terang seakan kontras dengan kegelapan malam di luar jendela. Lima menit lamanya Presiden berpikir, akhirnya mendapatkan kesimpulan. "Baiklah, kita minta bantuan Singapura. Namun, saya mau urusan ini tetap di bawah tangan, paham?" tanyanya.

"Siap laksanakan, Pak Presiden," kata Laksamana Sukardi dengan mantap.

Presiden beralih pada Arif, "Pak Arif, hubungi Pak Karso segera."

Arif segera mengambil telepon genggam yang berada di balik jasnya. Ia lalu menghubungi Karso Kariban yang mungkin terlelap di Natuna. Lima detik lamanya sistem enkripsi di dalam telepon genggam untuk berjabat tangan, barulah telepon itu tersambung. "Halo Pak Karso, ini saya Arif. Besok pagi sampeyan langsung ke Singapura, untuk ketemu kawan kita SID. Kali ini kita libatkan Singapura ... baik Pak Karso, nanti kabari saya," kata Arif memutus telepon.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang