Bab 20

3 1 0
                                    

Cam Ranh? Sinting juga mereka, pikir Sukardi. Ia melirik ke arah jam, masih jam enam lewat seperempat. Biasanya jam segini orang sudah bangun dan berangkat ke kantor. Namun, tampaknya itu bukan rutinitas Sukardi sekarang. Sejak kemarin ia masih saja di kantor, lembur seharian penuh. Ia berjibaku dengan ratusan berkas di meja. Sungguh benar-benar melelahkan, pikirnya sambil mengelus kepala gundulnya. Berita bagusnya, dia tak berada di kantornya di Palangkaraya, melainkan Natuna. Setidaknya kantor di sini dihiasi pemandangan pantai, bukan perkotaan. Baik pemandangan laut atau kota, keduanya sama-sama indah, tapi lautan adalah tempat Sukardi bernaung. Di sanalah dia rasakan kebebasan dan patriotisme.

Sukardi bangkit dan membuka jendela, membiarkan angin laut masuk ke dalam. Menghirup aroma garam membuat dirinya serasa seperti berkepala dua, muda dan energik, siap menghadapi tantangan hari ini. Usir Shuimu dari Indonesia, tendang bokongnya jauh-jauh. Itulah misinya kali ini. Mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Lautan itu luas, kapal selam itu kecil, mencarinya bukanlah tugas yang mudah.

Teknologi manusia memang boleh berada di luar angkasa, akan tetapi dalamnya lautan siapa yang tahu? Hanya 2 persen dari total lautan yang sudah dijelajahi. Dua persen! Kapal selam butut pun juga bisa menyusup kemari. Sukardi menggeleng-geleng. Keberadaan RSS Surge di sini memang sudah membantu, apalagi dengan sistem MAD-9 di pesawat intai. Lalu, terdengar suara pintu terbuka.

Seorang petugas muncul dari balik pintu. "Pak Kardi, ditunggu kehadirannya di ruang rapat," katanya

"Baiklah, saya segera ke sana," jawab Sukardi. Ia langsung menutup jendela, membawa dokumen dan segera keluar ruangan menuju ruang rapat.

"Pak Kardi," kata Karso yang sudah menunggu.

"Di mana yang lain?" tanya Sukardi menoleh ke kanan dan kiri.

"Sudah menunggu di dalam," kata Karso.

Karso Kariban dan Laksamana Sukardi masuk ke dalam. Di dalam sudah menunggu peserta rapat. Mereka semua duduk dengan rapi. Ada yang sibuk membaca dokumen, ada juga yang bercengkrama layaknya kerabat lama. Memang benar, AL Singapura dan TNI AL adalah sobat lama. Keduanya sudah sering latihan dan bertukar pikiran satu sama lain. Indonesia dengan kemampuan kapal selam dan Singapura dengan kemapuan anti kapal selam, keduanya melengkapi satu sama lain. Meskipun begitu, mainan Singapura mampu membuat Sukardi meneteskan air liur. Ia bermimpi bisa menyulap TNI AL menjadi armada biru, alat pemukul mundur lawan. Kapan kita bisa seperti mereka?

"Ada apa mengumpulkan kita pagi-pagi begini?" tanya Kolonel Kim.

"Pertanyaan bagus, Kim," kata Sukardi. Ia lalu mematikan lampu dan menekan tombol di meja rapat. Sebuah layar holografis terpajang di ruangan. "Seperti yang kita ketahui, ini adalah rute Shuimu. Ia bergerak dari Yulin menuju Helen Shoal untuk mengadakan latihan. Selanjutnya Shuimu bergerak ke selatan, menembus wilayah ASEAN di Spratly dan akhirnya, menuju Natuna di Indonesia," jelasnya.

"Ternyata Arjuna berada di Vietnam, bukan?" tanya Kim. Ia juga telah membaca pesan dari Arjuna.

Sukardi mengangguk, "Rute patroli Shuimu berubah drastis, karena Tiongkok memberi diskresi pada setiap kapten untuk bebas menentukan rute patroli."

"Damn, kalau begitu Shuimu bisa berada di mana saja," kata Kim bersungut-sungut.

"Benar dan kita tidak punya cukup armada untuk mencarinya."

"Pak Kardi," kini giliran Marsekal Saijan yang berbicara. "Boleh jadi Shuimu ada di mana-mana. Tapi setidaknya pasti ada prediksi rute patrolinya, bukan?"

Sukardi lalu menggambari peta patroli Shuimu dengan anak panah. Kedua anak panah itu bercabang dari ujung selatan Vietnam, mengapit Natuna dari arah barat dan timur. "Ini prediksi rutenya. Prediksi pertama, Shuimu berbelok ke timur dan menuju Kepulauan Spratly. Prediksi kedua, mereka bergerak dari Vietnam dan berbelok ke barat, mengapit Natuna dari Lubuk Natuna Barat. Prediksi ketiga, berbelok ke arah timur, menjepit Natuna dari Lubuk Natuna Timur."

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang