Di bawah guyuran air dingin, Aldi termenung dan membisu, tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Pancuran terus menyala, melanggar aturan dua menit. Sang letkol berharap aliran air bisa mendingingkan kepalanya. Tidak kali ini. Sebuah nama dan sesosok wajah muncul di dalam benaknya, menghantui dirinya.
Ratih.
Sepuluh tahun yang lalu, Letnan Aldi berlari menembus hujan, melewati kerumunan orang, melewati bangunan-bangunan gosong akibat hantaman rudal. Tak peduli dengan kakinya yang berteriak kesakitan, ia terus berlari menuju sebuah tenda berlogo palang merah. Masih jelas nomor tendanya, nomor 72. Panik, dalam kondisi basah kuyup ia pun masuk ke dalam. Aroma steril khas etanol yang menusuk hidung menyambutnya. Di kejauhan, Aldi mendapati Ratih sedang terbaring sendirian di atas ranjang, tidur dibuai mimpi indahnya. Sebuah infus terpasang di lengannya. Syukurlah dia masih hidup. Aldi lalu berjalan mendekati Ratih. Namun, sebuah lengan menghalaunya dengan kasar. Beberapa orang perawat menghalangi Aldi untuk menemui Ratih di dalam. Seorang dokter tiba-tiba berlari masuk ke dalam. Ia mendekati Ratih dan menempelkan stetoskop di dadanya. Tak lupa ia memeriksa nadi di pergelangan ratih.
Tiba-tiba terdengar bunyi statis bernada tinggi bagai alarm. Bunyi itu bersumber dari alat pengukur denyut jantung. Sang dokter melihat pengukur itu sesaat. Kemudian ia memompa dada Ratih, berusaha untuk memberikan rangsangan pada jantung Ratih yang berhenti berdetak. Jarum-jarum suntik pun menusuk pada lengan Ratih, memompa cairan tambahan atau memberinya obat-obatan. Tak kunjung berhasil, ia pun akhirnya pasrah dan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Perlahan tapi pasti, dengan penuh rasa hormat sang dokter menarik kain seprai hingga menutupi wajahnya.
Tidak, ini tak mungkin. Bohong! Ia belum pergi! Sang letnan menolak kenyataan di hadapannya. Aldi pun memberanikan diri berjalan mendekati ranjang. Tangannya gemetar ketika Aldi mengulurkannya, takut akan berita yang hendak didapatnya. Akhirnya, sang letnan bisa menggenggam tangan Ratih kala itu.
Dingin.
Seketika itu lantai di bawah kaki Aldi seakan menghilang, menelannya menuju kegelapan abadi. Kakinya mendadak lemas bagai tanpa tulang dan sang letnan pun ambruk. Tak mampu menahan emosi, bulir-bulir air mata jatuh berderai, membasahi kain putih di bawahnya. Kenangan akan Ratih bermunculan begitu saja, bagai film delapan milimeter diputar di dalam kepalanya berulang-ulang. Ia mengingat pertemuan pertamanya dengan Ratih. Ia ingat bagaimana cara Ratih berjalan. Bahkan saat itu Aldi ingat apa masakan kesukaan Ratih. Pada puncaknya, Aldi sudah bersumpah setia padanya dan akan menghabiskan waktu berdua dengannya.
Namun, kini takdir berkata lain. Kematian harus memisahkan mereka berdua. Kini tak ada lagi tangis dan tawa canda dari Ratih. Sumpah setia hanya tinggal sumpah belaka. Gadis itu sudah tak bisa apa-apa lagi. Tangan Aldi mengepal dengan penuh amarah dan kesedihan, bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Sialan! Brengsek! Berkali-kali ia menghantam kasur diiringi dengan air mata yang terus berjatuhan.
Ingin rasanya Aldi menjerit dan menumpahkan isi hatinya. Namun, tidak ada waktu untuk berduka cita baginya. Ia harus kembali ke dermaga untuk mengawasi pengisian torpedo dengan berurai air mata. Giginya mengatup menahan amarah. Tugas di bawah laut sudah menanti, Tiongkok sudah menyerang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini waktunya Keris menjadi instrumen pembalasan dendam. Andaikan Kapten Karso adalah pemburu, maka Aldi adalah pemicu senapannya. Tugasnya hanya satu, luncurkan torpedo ke laut lepas. Sasarannya? Kapal-kapal Tiongkok yang lancang masuk ke sini! Senyum mengembang di bibirnya, bukan senyum bahagia, melainkan seringai serigala yang marah dan ia hendak menerkam apapun yang ada di hadapannya.
Suatu hari Keris berhadapan dengan Shandong, dikawal dua kapal perusak. Konvoi itu berlayar dengan sombong dari Hainan menuju Natuna, lurus ke arah selatan. Keris berenang ke utara dengan pelan, lalu berbelok ke timur. Ketika Keris sudah tiba di posisi, konvoi sudah berada jauh di selatan, meninggalkan Keris di utara. Tepat di belakang konvoi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka di Bawah Ombak
Mystery / ThrillerKisah ini terinspirasi dari The Hunt For Red October karya Tom Clancy. Ceritanya sederhana, mengisahkan tentang Aldi dan Hanying, dua kapten kapal selam yang hendak membalaskan dendamnya satu sama lain. Di sisi lain, kondisi geopolitik yang genting...