Bab 27

4 1 0
                                    

Shuimu merayap di dasar laut, menelusuri lereng dengan anggun dan tanpa suara. Hanying menutup matanya, membayangkan wajah malu para pejabat ASEAN ketika bernegosiasi nanti. Semua koran digital akan tercengang menampilkan keberanian Tiongkok kali ini. Biarlah Laut Cina Selatan terbakar api kembali. Itulah pembalasan yang cocok untuk "kemenangan" negara-negara petani miskin semenjak 10 tahun yang lalu. Yun sudah pasti akan tersenyum kembali, bukan begitu? Emosi boleh, untuk membakar dirinya agar tetap semangat bertugas. Akan tetapi, tapi kepala harus tetap dingin.

Hanying kembali mengamati peta navigasi. Terlihat Shuimu perlahan menyelinap melewati fregat Soedirman. Sampai jumpa sonar aktif, kata Hanying dalam hati. Namun, tidak untuk dengan juru sonar. Pemuda itu masih tampak sibuk dengan komputernya, mengamati layar di depannya. Mungkin sudah saatnya bagi bergerak menyeberangi Lubuk Natuna Timur. Akan tetapi, masih ada fregat Soedirman yang terakhir masih berpatroli. TNI AL tampaknya belum menyerah untuk menemukannya.

"Fregat yang terakhir tampaknya melambat," kata Ranbing mengamati. Kecepatannya berubah menjadi tujuh knot sekarang.

"Benar, untuk mengurangi gangguan pada sistem sonarnya," sambung Hanying.

Ranbing tersenyum sinis, "Tapi tidak cukup untuk mendeteksi kita, bukan?"

Hanying menatap Ranbing lekat-lekat, "Meskipun mereka sudah layak dimuseumkan, tapi jangan remehkan. Jangan lupa, Indonesia menang perang 10 tahun yang lalu."

"Sudah pengalaman dengan Soedirman?" Ranbing bertanya, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran.

Hanying mengangguk, "Dulu pernah. Nyaris ketahuan ketika aku mau mengantarkan pasukan khusus ke Spratly." Benar sekali, satu kapal perang bisa membawa bencana bagi kapal selam. Belum lagi ditambah dengan pesawat intai maritim.

Astaga! Pesawat intai! Pesawat ialah ancaman nomor satu bagi kapal selam. Periskop yang menyembul bisa kelihatan dari udara atau terdeteksi radar. Siluet hitam Shuimu bisa terlihat dari udara ketika sedang di kedalaman periskop. Di samping itu, pesawat intai memiliki senjata khusus berupa sistem magnetik. Sistem sialan itu bisa mendeteksi benda-benda logam hingga kedalaman, bebas dari gangguan suhu ataupun akustik.

Kurang ajar! Sejenak Hanying menyumpahi dirinya sendiri, berpikir untuk membatalkan misi. Akan tetapi, jarak menuju Natuna sudah terlalu dekat. Hanya tinggal menyeberang dan ambil foto. Itu saja, hanya seujung jari! Hanying terdiam sejenak. Ia sibuk mengaduk-aduk pikirannya, berusaha mencari jawaban atas kecemasannya.

Tunggu dulu, pikir Hanying. TNI memang punya alat deteksi magnetis, kalau tidak salah sistem MAD-7. Memang benar sistem itu bisa mendeteksi kapal selam hingga kedalaman 300 meter, tapi seharusnya tidak untuk radius deteksinya. Hanying membuka laci di bawah meja lalu mengambil sebuah buku saku. Ia lalu membolak-balik halaman buku itu, mencari sistem sensor MAD-7. Hanya 100 meter untuk radius deteksi. Artinya, kalau pesawat intai itu terbang tepat di atasnya baru bisa terdeteksi. Sistem itu sudah terlalu uzur untuk dipakai. Misi kali ini akan berakhir dengan gemilang. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan misi kali ini.

Setengah jam lamanya waktu berlalu, kapal fregat Soedirman semakin jauh dari Shuimu. Mereka bergerak lurus ke arah timur laut, sedangkan kapal selam itu menuju ke arah barat daya.

"Juru Mudi, kemudi cikar kanan, arah 2-7-5. Kecepatan konstan!" perintah Hanying.

"Siap Komandan! Kemudi cikar kanan arah 2-7-5, kecepatan konstan," Juru Mudi Shuimu mengulangi perintah dari Hanying.

Nakhoda kapal memutar kemudi ke kanan. Sinyal dari gerakan kemudi diubah menjadi energi listrik, mengalir melalui kabel ke arah buritan kapal. Energi listrik lalu diubah menjadi energi gerak, memberikan daya pada cairan hidrolik. Gerakan hidrolik memutar kemudi vertikal di buritan, mengubah aliran air laut. Akhirnya, kapal pun berbelok ke kanan. Namun, untuk berbelok tajam dibutuhkan segenap tenaga cairan hidrolik untuk memutar kemudi. Akibatnya, ada suara hentakan dari cairan hidrolik yang kental dengan batangan kemudi vertikal. Suara hentakan itu merambat di kolom air dan diterima KRI Arjuna, mengekor di belakang.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang