Bab 22

3 1 0
                                    

Cahaya hijau menerangi wajah Hanying ketika mengamati peta hologram timbul di meja. Ia menelusuri setiap ceruk dan lekuk di dasar laut, mencari lokasi bersembunyi kalau-kalau ada kapal patroli permukaan. Segala macam detail tak luput dari matanya. Shuimu sudah mengarah ke tenggara, menuju Natuna. Iklim tropis Indonesia membuat salinitas di laut menjadi semakin ekstrim. Panas dari matahari memisahkan garam dari air yang menguap ke udara, membuatnya semakin asin. Akibatnya, garis-garis haloklin semakin curam. Kecuraman ini terkenal di Tiongkok dengan nama tembok garam. Salah mengambil keputusan, Shuimu terhempas ke permukaan, lalu menjadi sasaran empuk armada TNI. Omong-omong soal armada, ke mana kapal perang TNI? Harusnya mereka rajin patroli di sini, bukan? Tanya Hanying dengan heran. Inilah kabut peperangan dan kabut kali ini sulit ditembus, bahkan dengan lampu sekalipun.

Tidak semua hal buruk dijumpai Hanying. Shuimu bisa saja bersembunyi di kedalaman, di bawah termoklin menghindari suara sonar kapal perang. Saat ini ada dua pilihan utuk Hanying. Satu, Shuimu akan terus hanyut dibawa arus hingga Lubuk Timur, dengan resiko terdeteksi oleh patroli maritim. Atau dua, menyalakan mesin untuk segera bersembunyi di kedalaman. Pilihan pertama sudah jelas, arus laut bisa membawanya hingga Lubuk Natuna Timur, jika tak ada patroli maritim. Pilihan kedua, Shuimu masuk ke kedalaman, menyelinap di bawah laut ke Natuna. Namun, jarak tempuh masih agak jauh. Kedua pilihan dilematis itu tampaknya menggerogoti pikirannya sehingga dia terdiam membisu, mematung bagai patung batu, tak bisa diganggu gugat.

Akhirnya, setelah berdebat dengan diri sendiri selama nyaris dua puluh menit, Hanying memutuskan, "Juru Mudi! Kecepatan 5 knot, kedalaman 300 meter."

Generator elektrik akhirnya menyala dengan tenaga penuh. Gemuruh mesin yang menyala menggetarkan lambung kapal dengan lembut. Lampu-lampu yang dimatikan kini menyala, menerangi setiap jengkal Shuimu dengan cahaya putih. Hanying lalu duduk di kursi dan menyaksikan angka kecepatan kapal naik menuju 5 knot. Di samping itu, kapal selam yang mendadak condong ke bawah sedikit membuatnya waspada. Tangannya menggenggam pegangan agar tidak jatuh.

Suara baling-baling Shuimu merambat di kolom air, terdengar oleh KRI Arjuna yang sejak kemarin mengintai di belakang. Setelah sekian lama hanyut di atas haloklin, akhirnya Shuimu bergerak juga.

Yuni melapor, "Dan, Shuimu menyelam. Kecepatan 5 knot dan konstan."

"Baik, terus lacak. Jangan sampai kehilangan dia," ucap Aldi. Bagus sekali, pikir sang letkol dengan nada sarkas.

Sekarang ada dua keputusan yang bisa diambil Aldi, dan keduanya lagi-lagi membuatnya bimbang. Posisi Arjuna sekarang sudah dekat dengan Natuna. Bisa saja ia berhenti mengekor Shuimu untuk melapor pada Kokaselarmateng. Untuk itu, ia harus naik ke kedalaman minimal radio supaya antena frekuensi rendah (VLF) bisa dipakai. Itupun Arjuna juga harus duduk manis selama lima menit, mengingat pesan yang dipancarkan antena VLF tidak sebaik dengan antena radio. Atau bisa saja Arjuna naik ke kedalaman periskop untuk memberikan laporan lewat radio. Namun, sang letkol tak tahu kondisi di permukaan seperti apa. Andaikan kondisi permukaan bergejolak, bisa-bisa Shuimu langsung lenyap dari layar kontak.

Sudah jatuh tertimpa tangga, pikir Aldi begitu melihat suara latar. Sial, 102 db, super berisik seperti konser musik rock and roll. Bagaimana ini? Di peta holografis, Shuimu bergerak turun menuju kedalaman laut, semakin dalam menuju kegelapan, menembus lapisan suhu. Alamak, dia sudah lewat termoklin!

Terlihat di sudut mata Aldi, Yuni memutar-mutar kenop dan menekan tombol-tombol di panel. Si petugas sonar berjuang keras melacak sasaran. Tapi percuma, koputer sonar mulai kesulitan mengunci posisi Shuimu karena tak ada data baru yang masuk ke komputer. Suara Shuimu dipantulkan kembali ke kedalaman oleh termoklin, hanya sedikit yang tembus ke permukaan. Perlahan tapi pasti, Shuimu terlepas lepas dari genggaman Arjuna, melenggang lolos ke kedalaman.

Luka di Bawah OmbakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang