13

77 13 9
                                    

Jena hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat temannya itu mengerjakan tugas sambil menyuapi anak sambungnya, Vio. "Gue sebenarnya sangat mendukung lo sama Tristan Han, tapi gue kadang masih suka heran kenapa lo mau diajak nikah cepet, maksud gue... lo sama Tristan itu kan jadian baru 1 tahun setengah? Lo juga masih punya tanggung jawab buat kuliah, dengan masa lalu lo yang pernah gagal, gue gak habis pikir kenapa lo mau nikah cepet. Lo... kangen begituan ya?"

Honey langsung menatap tajam Jena sambil memukulnya dengan bantak sofa. "Jaga omongannya Jena, ada Vio!"

"Loh gue gak ngomong apa-apa! Tapi serius Han, gue penasaran."

"Bukannya lo yang dukung gue buat nikah sama mas Tristan?" Tanya Honey.

"Iya dukung sih, gue juga jadi lo dilamar cowok dengan spek kayak Tristan gue juga mau terima , tapi belum tentu kalau gue juga punya masa lalu yang sama kayak lo. Selama ini yang buat lo ragu itu kan sikapnya suami lo yang menurut gue sih  gak ada masalah, justru gue penasaran dari sisi kehidupan lo kayak yang gue bilang tadi, dengan masa lalu lo yang pernah gagal, dan lo juga masih kuliah, lo juga masih terbilang muda, kenapa gitu Han?"

Honey belum menjawab, "Vio udah selesai makannya?" Ia fokus dulu pada Vio yang sedang main puzzle baru saja ia berikan suapan terakhir dari makan siangnya.

"Udah!!!"

"Ya udah, mama boleh minta tolong taruh piringnya di dapur? Mama mau ngerjain tugas nih."

"Boleh Ma..."

"Abis itu Vio main sama mbak Dini dulu ya, kalau mama udah selesai nanti main sama mama lagi, oke?"

Vio mengangguk, anak kecil itu menurut apa perintah dari sang mama yang langsung menaruh piring bekas makannya ke dapur kemudian pergi mencari mbak Dini (asisten rumah tangga mereka) untuk ia ajak main bersama.

"Masa lalu gue gak buat gue trauma, jadi itu sama sekali gak membuat gue takut akan pernikahan, gue justru rindu sosok laki-laki yang bisa gue andalkan dan sayang sama gue,  lo tau sendiri  gue gak dekat sama papa dan mas Genta, dan kenapa secepat ini? Gue takut kehilangan mas Tristan kalau gue tolak lamaran dia waktu itu meski gue sendiri sebenernya gak yakin buat berumah tangga sama dia seperti yang gue bilang waktu itu. Gue ini janda Jen, gue takut gak ada yang mau nerima gue lagi selain mas Tristan, dan untuk ambil keputusan terima lamaran dia, gue cuma mikir lebih baik sekarang atau gak sama sekali?"
"Jena.... lo juga tau kalau mimpi gue adalah bangun keluarga gue sendiri, kalau gue gak bisa jadi anak yang bahagia di keluarganya, gue mau jadi orangtua yang bahagia di keluarga gue sendiri, yang bisa kasih semua keinginan anak gue, baik Vio ataupun anak gue dan mas Tristan nanti," Honey melanjutkan ucapannya.

Jena menatap iba Honey, ia tau bagaimana kesepiannya Honey di dalam keluarga wanita itu, Honey tidak pernah mendapat bentuk kasih sayang yang cukup dari keluarganya. Jena ataupun bahkan Honey sendiri tau kalau Papanya Honey, Mamanya, dan Genta, kakaknya, mereka menyayangi Honey, tapi mereka tidak pernah menunjukannya pada Honey, hingga Honey tidak pernah merasakan kasih sayang itu sampai kepadanya.

"Tapi Han, kalau itu alasannya, lo kan bilang Tristan mirip bokap lo, gimana lo bisa menggantungkan harapan lo akan mimpi lo untuk bangun keluarga itu bisa tercapai dengan baik kalau suami lo aja justru mirip sosok bokap lo yang bisa dibilang  beliau lah si tokoh yang bikin lo gak bahagia atas keluarga lo sendiri dengan segala sikapnya itu."

Sebelum Honey menjawab pertanyaan Jena, Honey dan Jena kompak menoleh pada suara telpon rumah yang berbunyi. Telpon itu langsung diangkat oleh mbak Dini sebelum ART itu memberikannya pada Vio yang berlari kecil menghampirinya, "Ini papa-nya non," kata mbak Dini.

"Halooo Papaaa?!!!" Suara cempreng Vio yang menyapa Papanya ditelpon itu membuat Honey tersenyum tipis.

"Mas Tristan mungkin jauh dari pria idaman gue. Dia gak romantis, terkesan datar, emang mirip banget sama Papa kayak yang gue bilang. Tapi ketika dia jadi sosok ayah, mas Tristan gak mirip kayak Papa Jen, jauhhhh banget, mas Tristan adalah sosok ayah yang baik, itu yang akhirnya membuat gue mau menikah sama mas Tristan selain karena gue takut gak ada yang mau lagi sama gue. Setidaknya gue masih punya harapan kalau anak gue nanti gak seperti gue yang jauh dari ayahnya. Gapapa kalau gue gak punya suami yang romantis, gapapa kalau gue harus mengubur dalam-dalam keinginan gue untuk bisa dapatin kasih sayang sebesar yang gue dapat dari pasangan sebelumnya, yang penting anak gue gak kekurangan kasih sayang dari ayahnya nanti kayak yang gue rasain."

Twist of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang