08

101 18 12
                                    

Ezra sudah menjemput Zaina, disebuah apartement yang Ezra bisa tebak adalah kediamannya Gibran. Selama perjalanan rasanya Ezra mau marah, kenapa Zaina mau aja dibawa ke apart-nya Gibran setelah semua yang Gibran lakukan padanya. Tapi Ezra gak mau membahasnya di mobil, ia tidak mau kalau Zaina tiba-tiba minta turun lagi dari mobil, jadi ia tahan semuanya sampai kini mereka sudah ada di apartement-nya Zaina.

"Lo mau ngomong apa?" Zaina yang sudah duduk duluan di sofa sangat paham dengan keterdiaman Ezra selama perjalanan tadi bahwa pria menyimpan sesuatu untuk dibicarakan.

"Di sana ngapain aja?" Tanya Ezra sambil berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum.

"Gak ngapa-ngapain. Ngobrol doang. Dia masakin gue sih, makanya dia ngajak ke apart, sebagai bentuk permintaan maaf katanya."

"Lo mau balikan sama dia?"

Zaina menghela napas, "Balikan atau nggak itu urusan gue."
"Kita sepakat buat gak larang-larang satu sama lain buat punya pacar."

"Tapi gak Gibran orangnya, Zaina."

"Lo kenapa sensi banget sih sama Gibran? Perasaan gue gak pernah sensi soal kak Honey."

"Gak usah bawa-bawa dia! Perlu gue ingetin gak kalau..."

"Kalau Gibran udah ambil perawan gue? Itu, itu lagi kan yang mau lo bahas? Ck, setidaknya dia gak ngehamilin cewek kayak lo."

Deg.

Ucapan Zaina menusuknya sampai relung hati, hingga Ezra gak bisa menjawab apalagi membantah fakta tersebut.

Pria itu hanya berdesis, "Bener juga."
"Sori deh Zai."
"Harusnya gue emang ngaca dulu sebelum judge orang," ucap Ezra yang kakinya jadi terasa lemas tiap kali diingatkan soal itu sampai kini dia terduduk di kursi bar yang ada di dapurnya Zaina dan  dan menundukan kepalanya dalam-dalam.

Zaina merasa bersalah, ia merutuki mulutnya yang suka kelepasan kalau sedang kesal. Ia tidak ada maksud untuk menyinggung Ezra, bodohnya Zaina bicara seperti itu disaat dirinya menyadari bahwa sebenarnya Ezra jauh lebih baik daripada Gibran. Sama seperti di mata Honey, di mata Eyra, di mata Zaina, Ezra juga adalah sosok pria luar biasa baik semua kata definisi laki-laki idaman pasti ada pada Ezra. Padahal Zaina sendiri juga tahu betul ceritanya Ezra dengan masa lalunya itu, dan tidak sesuai ucapannya tadi yang terkesan bilang bahwa lebih buruk Ezra ketimbang Gibran disaat Gibran lah yang paling buruk di sini. Zaina hanya terbawa emosi, meski ia tahu Gibran salah, Zaina tidak suka disaat oranglain terus menghakimi Gibran. Apalagi setelah ia mendapatkan permintamaafan tulus dari Gibran langsung tadi.

Zaina menghampiri Ezra,
"Gue... gak maksud gitu mas, maaf," sesal Zaina.
"Mulut gue kurang ajar banget, gue tau, maafin gue."

Ezra hanya tersenyum tipis, ia menarik Zaina pelan untuk masuk diantara dua kakinya, "Gapapa, Zai. Lo emang perlu ingetin kebrengsekan gue yang itu, biar gue gak lupa."

Zaina menggeleng, ia menyisir rambut depan Ezra, "Lo gak brengsek! Gue ngomong asal tadi. Lo cowok baik, mas."

"Tapi masih lebih baik Gibran kan?"

Zaina menggeleng, "Gue cuma gak suka Gibran terus dihakimi, gue liat ketulusannys minta maaf sama gue. Tapi bukan artinya dia lebih baik dari lo."

"Masa? Lo pasti lebih pilih dia ketimbang gue."

"Soal itu iya."

"Zaina...., gue mau ngomong serius," ucap Ezra yang tangannya kini sudah bertengger di pinggang Zaina, wajahnya mendengak sedikit untuk menatap wanita itu karena posisinya yang masih duduk sedangkan Zaina berdiri.

"Gue tau kita awalnya cuma ada untuk satu sama lain buat ngisi hati kosong dan kesepian kita karena pisah sama orang yang kita sayang, gue selalu mau menganggap lo cukup jadi adik gue aja, kayak Eyra, tapi gue gak bisa. Kontak fisik antara kita  gak bisa  disebut kakak-adik. We kissed, we hugged, we even had a make-out and that's totally not a sibling things, right? Gue tau Zai, we're not into each other, yet. Tapi gue sayang sama lo. Gue ngomong gini sebelum lo bener-bener balikan sama Gibran. Zaina... lo mau coba gak sama gue?"

Twist of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang