#27

58 4 0
                                    

YN POV

Aku tenggelam dalam lautan yang gelap, sangat gelap hingga aku ketakutan menutup mataku perlahan. Keheningan angkasa bawah air meliputi diriku, menjauhkan segala kebisingan dan kekacauan pikiran yang sempat menghantui.Terombang-ambing dalam samudra tak berujung, aku berusaha mencari pegangan walau mungkin tak ada yang tersedia.

Wakasa tidak tahu ini. Tidak tahu bahwa tiba-tiba kesehatan mental ku kambuh, membuat hatiku begitu rapuh hingga aku memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam laut. Aku ingin melarikan diri, hendak mencari perlindungan di balik dinding-dinding gelombang yang luas.

Namun, dalam keputusasaan ini, aku merasa abadi. Aku merasa bahwa memeluk dunia di bawah air memungkinkan aku untuk menghadapi kepasrahan dan ketakutan yang bukan hanya milik diriku sendiri, melainkan semua insan yang pernah berjalan di muka bumi. Aku merasa jauh lebih tenang di sini, di dalam kegelapan yang menyelimuti dan menyembunyikan aku dari segala pandangan mata.

Seiring waktu berlalu, sebuah kilau kecil mulai menyusup ke dalam kegelapan lautan, memberi petunjuk bahwa aku belum sepenuhnya hilang. Tanda itu mengingatkan aku pada kakak angkatku, yang selalu memberikan sinar terang bagi aku dalam kehidupan yang seringkali gelap. Aku memberanikan diri untuk membuka mata perlahan, menghadap kilau yang kian terang itu.

Aku mulai menyadari bahwa kehidupan disini, dalam kedalaman laut yang mencekam, tidaklah lebih baik daripada dunia di atas. Aku tahu aku harus menghadapi rasa takut dan ketidakpastian yang menghantui. Aku harus memiliki keberanian untuk kembali ke permukaan, ke dalam kehidupan yang pernah ku kenal.

Begitulah, dengan tenaga yang tersisa, aku berusaha menyelam kembali ke atas. Aku terus berenang, melawan arus dan kepasrahan yang sedari tadi menguasai diriku, bersujud pada penguasa alam yang tak terbatas ini. Aku berharap sinar kehidupan akan menghantui aku di sana, bersama dengan kehangatan tangan kakak angkatku yang ingin kembali kujamah.

Ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, melawan arus kehidupan dan rasa ketakutan yang lama terpendam. Laut, dalam kegelapan dan kedalamannya, membawaku pada pemahaman akan kekuatan sejuta asa yang dimiliki oleh setiap diri manusia.

Mereka beranggapan bahwa kesehatan mental adalah hal yang sepele, tapi tidak denganku. Bagi mereka, mungkin kesehatan mental hanyalah angin lalu yang akan hilang begitu saja. Namun, bagiku, itu sungguh menyiksa diriku sendiri dan membunuhku perlahan. Rasa sakit yang tak tampak namun sangat nyata, bagaikan duri tajam yang menancap dalam hati dan tak mampu dicabut oleh tangan-tangan orang yang tak mengerti.

Lingkungan sekitarku kadang meremehkan pentingnya menjaga kesehatan mental. Mereka melihat itu sebagai pertanda kelemahan, bukan sesuatu yang harus dihadapi dan diperjuangkan. Oleh sebab itu, aku sering merasa terjepit di antara keinginan untuk menyuarakan kabar duka terpendam dalam diri dan ketakutan akan penilaian orang.

Saat-saat sunyi malam, aku berbaring seorang diri sambil berpikir tentang betapa sulitnya menjelaskan apa yang kurasakan kepada orang-orang di sekitarku. Berbicara tentang kesehatan mental demikianlah sulitnya, terasa mustahil untuk membuat mereka mengerti dan merasakan yang sama seperti aku. Namun, kudapati diriku tak boleh terus berdiam dalam penjara ini.

Sungguh, aku mulai menyadari bahwa harus ada cara untuk menyampaikan perasaan dan pemikiran ini kepada dunia yang tak tahu. Mungkin dengan menulis puisi tentang gelombang emosi yang menerpa hatiku, atau menciptakan lukisan warna-warni yang mewakili kegundahan dan kebahagiaan. Aku memutuskan untuk mencari teman-teman yang sepaham denganku, orang-orang yang bisu mengerti dan menerima perjuangan ini. Kalaupun tak bisa menemukan mereka, paling tidak aku mencoba.

Namun, ketika aku hampir pasrah menerima ajal di tengah lautan yang membisu, bayangan dua orang tiba-tiba muncul dari balik kegelapan. Samar-samar aku melihat kedua sosok itu berenang mendekat, usai mencapai letakku di kedalaman yang sunyi. Dengan kekuatan dan keberanian yang tersisa, mereka mencoba menyelamatkanku, mendorong tubuhku dengan perlahan menuju permukaan.

Wajahku pucat, tekanan darahku rendah menyebabkan kesadaranku mengabur, sudut pandangku terfilarkan ketika sosok-sosok penyelamat itu kian jelas. Mereka berdua saling bahu-membahu, membantuku keluar dari belenggu maut laut dalam. Mulailah angin pantai kembali menyentuh kulitku,sinar matahari berusaha menyinari wajah pucat yang dipenuhi kepasrahan.

Dalam hitungan detik sebelum mencapai permukaan, kesadaranku meredup, dan aku jatuh pingsan. Aku tak tahu apa yang terjadi, tetapi merasa lega bahwa mungkin, kali ini aku akan mendapat kesempatan kedua untuk kembali ke dunia di atas, menghadapi masalah serta mencari dukungan dari orang-orang yang peduli. Takdir sungguh begitu ajaib, menakdirkanku menemui keajaiban saat hampir nyawa terenggut.

Setelah diceburkan kembali ke permukaan laut dan kembali bisa bernafas, aku terbangun dalam kebingungan. Menghirup udara segar pantai, merasakan deburan ombak di telinga, menyadari bahwa inilah saatnya aku melawan saya sendiri dan menjalani hidup yang lebih baik. Aku bertekad untuk mengejar kebahagiaan dan keseimbangan dalam kehidupan seiring dengan tetesan air laut yang kembali menguap ke angkasa.

Dalam keadaan mati rasa, aku tak sadarkan diri, badanku lesu dan sekarat. Kesadaranku masih belum kembali sepenuhnya, apalagi dengan kondisi tubuh yang melemah. Akan tetapi, ada dorongan untuk terus bertahan hidup yang mengusik batinku, seraya kutahu bahwa dua sosok penyelamat yang telah berjuang mendorong aku hingga permukaan ini tak akan membiarkan aku menyerah.

Pertolongan datang dari tempat yang tak disangka-sangka, saat aku merasa tak ada harapan lagi, ada kekuatan tak kasat mata yang memeluk erat tubuhku yang sekarat. Mungkin mereka adalah teman-teman yang dulu pernah menjadi sandaran, atau mereka adalah kerabat yang selalu mendukung dari belakang layar. Mungkin pula mereka hanyalah orang-orang baik, yang tak sedang mencari pujian maupun pengakuan.

Aku merasa ada kehangatan yang meninggalkan kesan tak terlupakan. Walaupun badanku lesu dan sekarat, jiwa ini masih menemukan harapan dalam pelukan mereka, berusaha terus mengarungi samudra kehidupan yang luas serta menakutkan, tetapi penuh dengan pelajaran yang berharga.

Tak dapat menahan air mata, aku berjanji untuk berjuang keras, menghargai usaha dan pengorbanan mereka yang tidak akan pernah dapat kubalas. Aku akan berani mengejar kebahagiaan, menciptakan harmoni dalam hidup, dan menyemai kesadaran serta kepedulian akan kesehatan mental bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitarku. Itulah komitmen yang kupersembahkan buat mereka yang telah menyelamatkanku dari lautan kesakitan pahit.

Bekas luka self-harm yang ada di tanganku terasa perih mengenai air asin laut, menancapkan rasa penyesalan dalam hati. Mencelupkan luka itu ke dalam lautan, begitu menyakitkan, bagai merangkum perasaan-perasaan yang melahirkan luka-luka tersebut. Aku merasakan kepedihan hati dan tubuh yang terasa dalam setiap hela nafasku.

Hembusan angin sepoi-sepoi dan deburan ombak di pantai mulai menyapaku, mengingatkanku akan kehidupan yang belum selesai kujalani di dunia. Aku merenungkan jalan hidup yang telah kulalui, menimbang perjalanan yang penuh rintangan dan kehancuran, serta menyesali segala keputusan yang telah kubuat.

Aku menyadari bahwa perlu menghadapi rasa sakit, melewatkan air asin laut yang begitu perih, untuk mencapai tepian pantai yang aman dan damai.Dalam proses menyembuhkan luka batin.

(失) 𝐆𝐈𝐑𝐋 𝐅𝐑𝐎𝐌 𝐓𝐎𝐊𝐘𝐎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang